Articles

Read the articles about accounting,internal audit, tax, human resource,information and technology.

SISI BURUK EMPLOYEE ENGAGEMENT

30 August 2016
Category: HUMAN RESOURCE
Penulis:         Dra. I. Novianingtyastuti, Psi
SISI BURUK EMPLOYEE ENGAGEMENT

Sebuah organisasi hanya dapat memastikan keberhasilan bisnis yang berkelanjutan di masa depan dengan meningkatkan kepuasan pelanggan dan keterlekatan karyawan (employee engagement). Karyawan dengan tingkat keterlekatan yang tinggi, lebih peduli tentang hasil bisnis perusahaan selain pengembangan pribadi dan karir mereka.

Ada perbedaan antara employee satisfaction dengan employee engagement, kurang lebihnya dapat digambarkan sebagai berikut. Employee satisfaction hanya mendorong karyawan to doing my job, tapi employee engagement mendorong karyawan to doing my job above and beyond (melakukan pekerjaan saya secara luar biasa). Employee satisfaction hanya mendorong seorang karyawan untuk memikirkan kesuksesan dirinya sendiri, sedangkan employee engagement mendorong setiap karyawan untuk menciptakan kesuksesan dirinya dan perusahaan tempatnya bekerja. Singkatnya, employee satisfaction hanya mendorong komitmen pribadi. Sedangkan employee engagement mendorong komitmen bersama dan yang akan mendorong potensi karyawan kepada kinerja tinggi karena membuat orang memberikan kontribusi terbaiknya.

Beberapa manfaat keterlekatan adalah 480% karyawan lebih berkomitmen untuk membantu perusahaan mencapai sukses. Yang lain, mereka memiliki kemungkinan lebih dari 250%merekomendasikan perbaikan-perbaikan kepada perusahaan dan 370% lebih besar kemungkinan untuk merekomendasikan perusahaan sebagai tempat bekerja kepada orang lain. Para karyawan yang memiliki tingkat keterlekatan tinggi lebih banyak fokus pada tujuan dan nilai dari sebuah pekerjaan, sehingga dapat menghasilkan kemampuan yang meningkat 6 kali lebih besar dibandingkan apa yang dilakukan oleh para pesaing perusahaan. Karyawan yang demikian, juga mampu mendorong virtual workforce karena rata-ratamenggunakan teknologi yang trendi. Akibatnya mereka juga mampu mendorong kreativitas. Karyawan jenis ini mampu mendorong adanya pemberdayaan dan inovasi bukan hanya sekedar prosedur dan kebijakan.

Tapi ada fakta-fakta yang “menakutkan” yang perlu menjadi perhatian kita di balik banyaknya manfaat keterlekatan karyawan yang tinggi. Kita sering mendapati beberapa orang yang memiliki keterlekatan, tidak menyumbangkan kinerja seperti yang diharapkan leader. Sebaliknya, seringkali ditemui justru team terbaikadalah yang paling kurang puas. Mengapa bisa terjadi demikian?

Keterlekatan adalah aspek penting tercapainya kinerja. Namun kinerja sendiri dipengaruhi banyak faktor lain dan faktor-faktor tersebut bisa jadi lebih besar pengaruhnya jika dibandingkan dengan keterlekatan. Contoh studi yang baru saja dilakukan Google mendapati bahwa pendorong kritis kinerja team efektif adalah budaya keterbukaan dan keamanan team, kejelasan tujuan dan sense of purpose yang kuat. Studi lain juga menunjukkan bahwa judgement dan kemampuan mengambil keputusan sangat besar pengaruhnya terhadap team dan kinerja organisasi, mengalahkan keterlekatan. Hal ini menjelaskan mengapa leader seperti Steve Jobs atau Jeff Bezos – bisa sangat efektif meskipun mereka bukan orang yang punya kemampuan baik dalam human relation atau kecerdasan emosi. Mereka bisa mendapatkan kinerja baik lebih karena mempunyai kemampuan tinggi dalam visioning dan piawai dalam memberikan judgment.

Dari penjelasan di atas, nampak bahwa keterlekatan sendiri dapat menjadi hambatan bagi kinerja yang lebih baik jika tidak dipandang secara proporsional. Ketika karyawan terlalu fokus untuk terikat satu sama lain, mereka jadi kurang fokus untuk bergerak maju. Menurut Lewis Garrad dan Tomas Chamorro-Premuzic (Harvard Business Review – August 2016), ada 4 (empat) ancaman dari tingkat keterlekatan karyawan yang tinggi, yaitu:

    1.Mempertahankan status quo. Dalam lingkungan bisnis yang kompetitif tanpa henti, organisasi yang berhasil adalah yang terus-menerus beradaptasi. Inovasi nyata dan perubahan membutuhkan kegelisahan dan ketidakpuasan atas status quo dan inilah yang mendorong orang untuk maju. Sangat memungkinkan karyawan yang puas dan termotivasi menolak cara-cara baru dalam melakukan sesuatu. Penelitian menunjukkan bahwa karyawan yang optimis dengan kinerjanya cenderung berhenti mencoba cara-cara baru, sebaliknya karyawan yang frustrasi dan kurang puas cenderung mencari terobosan kreatif jika didukung dengan cara yang benar.Jadi ancaman bagi para leader adalah jika karyawan yang memiliki keterlekatan tinggi menjadi puas atau sombong. Kita bisa lihat, dalam 30 tahun terakhir kita menyaksikan banyak perusahaan yang sangat bangga dengan apa yang mereka lakukan tapi tidak cukup agresif untuk tetap menjaga posisi dalam persaingan - Nokia, Kodak dan Yahoo! adalah beberapa contoh. Tak perlu diragukan, kemajuan umumnya didorong oleh orang-orang yang menolak status quo dan selalu mencari cara untuk mengubahnya.

    2.Mendorong karyawan ke burnout. Sangat mudah bagi karyawan yang memiliki keterlekatan tinggi untuk terlibat mendalam ke pekerjaan mereka sehingga mereka kurang memperhatikan hal penting lain dalam kehidupan mereka. Penelitian menunjukkan bahwa pekerja yang memiliki keterlekatan tinggi cenderung menderita gangguan kerja/keluarga lebih sering, dan mereka yang gagal membagi waktu berakhir dengan kerusakan kesehatannya. Bahkan jika perusahaan ingin karyawan menjadi spiritual workaholics, hasilnya tetap tidak baik bagi well-being/kesejahteraan jangka panjang karyawan dan kesehatan jangka panjang perusahaan. Ketika karyawan yang memiliki keterlekatan tinggi menjadi frustrasi, maka akan berpengaruh besar terhadap kinerja mereka.

    3.Ketidak-adilan karena stigma terhadap tipe kepribadian tertentu. Keterlekatan tidak hanya didorong oleh faktor situasional, tetapi bisa juga sebagai akibat tipe kepribadian tertentu. Riset menunjukkan bahwa karyawan yang secara natural lebih optimis, positif, stabil secara emosi, mudah setuju dan ekstravert cenderung untuk lebih engaged – mengabaikan faktor lingkungan. Padahal merekrut karyawan yang secara alami periang (secara artificial) tidak selalu mereka otomatis bisa meningkatkan produktifitas atau kinerja. Hal ini menjadi tidak adil jika ada orang-orang tertentu yang pesimis, introvert, penuntut, atau murung. Padahal tiap tipe kepribadian dalam dunia kerja diperlukan dalam porsi yang berbeda. Memiliki staf layanan yang mencintai pekerjaan mereka sangat membantu dalam memberikan kualitas layanan, seperti Sopir dan Customer Service Officer. Tapi bagi mereka yang dalam pekerjaannya harus berinovasi atau bekerja dengan masalah yang kompleks, tingkat keterlekatan yang tinggi tidak diperlukan. Bahkan mungkin akan lebih baik jika mereka mempunyai tingkat ketidakpuasan yang tinggi.

    4.Mengabaikan manfaat dari berpikir negatif.Meskipun benar bahwa pola pikir positif membawa keterbukaan dan kreativitas, namun harus diakui bahwa kita butuh orang kritis untuk mengarahkan kembali pada fokus dan perhatian. Orang yang berada dalam kadar stres tertentu cenderung menjadi sangat fokus dan berorientasi pada target. Hal ini menjadi pendorong kinerja optimal. Penelitian juga menunjukkan bahwa orang yang mengalami suasana hati yang negatif sering lebih gigih daripada mereka yang mempunyai pola pikir yang lebih positif. Kita harus hati-hati dengan filosofi yang hanya berfokus padahal positif untuk meningkatkan keterlibatan dan moral karyawan, dan di sisi lain mengabaikan manfaat dari berpikir negatif. Seorang pesimis defensif sering melakukan lebih baik karena mereka melakukan persiapan lebih banyak dan berusaha lebih keras; dan mereka yang mempertanyakan dirinya lebih sering cenderung lebih termotivasi untuk mencapai tujuannya.

Singkatnya, kita perlu memandang keterlekatan dengan lebih seimbang. Leader juga harus memikirkan caramenciptakan “ketegangan” karyawan dengan tujuan memicu persaingan yang sehat dan motivasi intrinsik karyawan. (*)

   For Further Information, Please Contact Us!