Articles

Read the articles about accounting,internal audit, tax, human resource,information and technology.

EDUCATION VS EXPERIENCE OF AUDITOR

03 October 2018
Category: AUDIT
Penulis:         Stefano Joseph, S.E.
EDUCATION VS EXPERIENCE OF AUDITOR

Pendidikan dan pengalaman seseorang dalam bekerja merupakan faktor penentu kualitas hasil kerjanya. Ini adalah hal yang dipahami pada umumnya. Ibarat dokter, tentunya pendidikan dan pengalaman menjadi senjata utama dalam memberikan jasa terbaiknyaserta menentukan tingkat keterampilan dan keahliannya dalam berpraktik. Demikian pula diharapkan pada profesi auditor. Hampir semua orang juga berpikir bahwa pendidikan dan pengalaman auditor sangat menentukan bagaimana kualitas auditnya. Apakah pendapat ini benar?

Riset terbaru (2018) yang menarik dilakukan oleh tiga orang ahli audit dari Norwegia bernama Limei Che, John Christian Langli, dan Tobias Svanstrom. Riset tersebut berusaha untuk membuktikan bahwa pendidikan formal, pendidikan keprofesian berkelanjutan(Continuing Professional Education atau CPE), dan pengalaman profesional seorang auditor berpengaruh terhadap upaya kerjanya dalam mengaudit. Riset tersebut tampak meneliti hal yang sudah menjadi mindset umum dan secara nalar memang seolah-olah tanpa riset pun jelas begitulah adanya. Namun dengan mempertimbangkan bahwa auditor menghadapi situasi kerja yang sangat dinamis, belum tentu fakta menunjukkan demikian.

Setiap auditor dan perusahaannya tentu telah menetapkan seberapa tingkat kualitas auditnya. Dengan kata lain, kualitas merupakan target yang sudah ditentukan dari awal. Di sisi lain, upaya audit adalah indikator dari kualitas audit yang sebenarnya. Ketiga periset mempertimbangkan pendidikan dan pengalaman sebagai faktor yang menentukan seberapa keras usaha seorang auditor dalam memenuhi target kualitas tersebut. Lalu berhasilkah riset ketiganya dalam membuktikan kebenaran pandangan umum tersebut?

Hasil riset menunjukkan bagaimana pengaruh tiga faktor terhadap upaya kerja audit. Pertama, telah terkonfirmasi bahwa semakin tinggi level pendidikan formal seorang auditor, semakin tinggi pula upaya kerja yang diperlukannya dalam mengaudit. Mengapa demikian? Tingginya level pendidikan formal diikuti dengan semakin berkembangnya pengetahuan, preferensi risiko, dan nilai-nilai yang diyakini auditor. Konsekuensinya, auditor menjadi lebih memperhatikan detail dari objek yang diaudit dan semakin merasa perlu untuk melakukan lebih banyak pengujian dan dokumentasi audit. Mudahnya, dengan semakin banyaknya pengetahuan, semakin luas pula pertimbangan-pertimbangan dalam membuat keputusan karena rasa ‘penasaran’ auditor yang meningkat.

Demikian halnya dengan efek dari pendidikan keprofesian berkelanjutan (CPE). Jika auditor tidak mengambil pendidikan keprofesian berkelanjutan, maka pengetahuan atas klien khusus serta kemampuannya menghadapi lingkungan yang kompleks dan tugas yang menantang juga akan kurang memadai. Apa yang akan terjadi? Auditor menjadi kurang memahami situasi sebenarnya yang sedang ia hadapi sehingga upaya kerjanya menjadi terbatas. Kualitas audit juga akan ikut terdampak. Namun tidak ketika auditor semakin banyak menempuh pendidikan keprofesian berkelanjutan.

Tidak seperti manfaat dari pendidikan formal dan lanjutan, manfaat dari pengalaman terhadap upaya kerja auditor cukup berbeda. Jika mulanya diharapkan bahwa pengalaman yang semakin banyak diikuti dengan semakin mudah dan efisiennya pengerjaan tugas audit, jawabannya adalah tidak pasti. Ketiga periset tersebut menemukan tidak adanya hubungan yang pasti antara jumlah pengalaman dan upaya kerja auditor. Artinya, semakin banyak pengalaman mengaudit seorang auditor, belum tentu kemudian keterampilan dan pencapaian kualitas auditnya menjadi terjamin.

Temuan bahwa pendidikan lebih banyak berperan dalam peningkatan kualitas audit dibandingkan pengalaman ini sangat menarik. Terlebih ketika kita mengingat bahwa memang setiap klien memiliki situasi dan karakteristik masing-masing meskipun berada di dalam industri yang sama. Selain itu, di setiap periode auditnya juga terjadi perubahan-perubahan, baik pada sifat transaksi, ukuran, sumber daya manusia, maupun berbagai faktor lainnya. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika satu kali pengalaman auditor menangani klien X, memastikan kualitas auditnya pada klien tersebut di audit periode berikutnya. Memori auditor juga ikut berperan. Jumlah jam terbang yang tinggi dengan klien yang bervariasi justru menghasilkan batasan auditor untuk mengingat pola dan sifat klien tertentu.

Lalu mengapa pendidikan lebih bisa menentukan kualitas audit? Pendidikan menanamkan prinsip. Dengan menjalani pendidikan, seorang auditor telah menerima pedoman yang akan tetap diingat dan menjadi pegangan baginya selama menjalani tugas audit. Bahkan dengan apa yang diperoleh dari pendidikannya saja, seorang auditor bisa menjalankan tugas audit pertamanya. Padahal, pada saat itu, tidak ada pengalaman yang ia miliki. Di sisi lain, pengalaman tetaplah pengalaman, yang akan tertindih oleh pengalaman lain yang dialami kemudian sehingga pengalaman yang lebih dulu tidak lagi berperan seoptimal yang diharapkan. Dari perspektif keilmuan, fenomena ini disebut dengan efek interferensi, yakni ingatan satu dapat tertimpa ingatan lainnya sehingga seseorang dapat tidak mengingat suatu hal yang pernah diingatnya.

Sederhananya, peningkatan pengalaman bukanlah unsur yang pasti mampu meningkatkan kualitas audit karena dari sisi auditor maupun klien sama-sama terjadi perubahan. Sedangkan pendidikan memberikan pedoman yang lebih kokoh karena menanamkan prinsip dasar yang akan diingat seorang auditor dalam jangka waktu yang lebih lama.

Referensi:

Che, L., Langli, J. C., & Svanström, T. (2018). Education, Experience, and Audit Effort. Auditing: A Journal of Practice and Theory, 37(3), 91-115.

Morrill, J. B., Morrill, C. K., & Kopp, L. S. (2012). Internal Control Assessment and Interference Effects. Behavioral Research in Accounting, 24(1), 73-90.

   For Further Information, Please Contact Us!