SKEPTISME PROFESIONAL AUDITOR DALAM MENDETEKSI KECURANGAN
10 September 2016
Category: AUDIT
Penulis:
Ika Andriyani, S.E.
Seorang auditor dalam menjalankan penugasan audit di lapangan seharusnya tidak hanya sekedar mengikuti prosedur audit yang terangkum dalam program audit, tetapi juga harus disertai dengan sikap skeptisme profesionalnya. Standar professional akuntan publik mendefinisikan skeptisme profesional sebagai sikap auditor yang mencakup pikiran yang selalu mempertanyakan dan melakukan evaluasi secara kritis terhadap bukti audit. Seorang auditor yang skeptis, tidak akan menerima begitu saja penjelasan dari klien, tetapi akan mengajukan pertanyaan untuk memperoleh alasan, bukti dan konfirmasi mengenai obyek yang dipermasalahkan. Tanpa menerapkan skeptisme profesional, auditor hanya akan menemukan salah saji yang disebabkan oleh kekeliruan saja dan sulit untuk menemukan salah saji yang disebabkan oleh kecurangan, karena kecurangan biasanya akan disembunyikan oleh pelakunya.
Kegagalan auditor dalam mendeteksi kecurangan terbukti dengan adanya beberapa skandal keuangan yang melibatkan akuntan publik seperti Enron, Xerox, Walt Disney, World Com, Merck, dan Tyco yang terjadi di Amerika Serikat; selain itu juga kasus Kimia Farma dan sejumlah Bank Beku Operasi yang melibatkan akuntan publik di Indonesia, serta sejumlah kasus kegagalan keuangan lainnya. Penelitian Beasley et al. (2001) yang didasarkan pada AAERs (Accounting and Auditing Releases) dari SEC selama 11 periode (Januari 1987 -Desember 1997) menyatakan bahwa salah satu penyebab kegagalan auditor dalam mendeteksi kecurangan adalah rendahnya tingkat skeptisme profesional audit. Berdasarkan penelitian ini, dari 45 kasus kecurangan dalam laporan keuangan, 24 kasus (60%) diantaranya terjadi karena auditor tidak menerapkan tingkat skeptisme professional yang memadai dan ini merupakan urutan ketiga dari audit defisiensi yang paling sering terjadi. Jadi rendahnya tingkat skeptisme professional dapat menyebabkan kegagalan dalam mendeteksi kecurangan. Kegagalan ini selain merugikan kantor akuntan publik secara ekonomis, juga menyebabkan hilangnya reputasi akuntan publik di mata masyarakat dan hilangnya kepercayaan kreditor dan investor di pasar modal.
Standar profesioral menghendaki agar auditor tidak boleh mengasumsikan begitu saja bahwa manajemen adalah tidak jujur, tetapi juga tidak boleh mengasumsikan bahwa manajemen sepenuhnya jujur. Jadi auditor diminta agar tidak memiliki tingkat kepercayaan yang terlalu tinggi terhadap kliennya. Tetapi dalam praktiknya, seorang auditor seringkali menghadapi konflik sehubungan dengan tingkat kepercayaannya terhadap klien. Penelitian ini bertujuan untuk menginvestigasi pengaruh interaksi dari kepercayaan dan penaksiran risiko kecurangan terhadap skeptisme profesional auditor, apakah auditor yang mempunyai tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap klien, manajemen dan staf klien, dapat mempertahankan sikap skeptisme profesionalnya jika diberi penaksiran risiko kecurangan yang tinggi. Selain itu juga ingin diketahui apakah auditor yang mempunyai tingkat kepercayaan yang rendah jika diberi penaksiran risiko kecurangan yang rendah akan menurunkan skeptisme profesionalnya.
Skeptisme profesional perlu dimiliki oleh auditor terutama pada saat memperoleh dan mengevaluasi bukti audit. Auditor tidak boleh mengasumsikan begitu saja bahwa manajemen adalah tidak jujur, tetapi auditor juga tidak boleh mengasumsikan bahwa manajemen sepenuhnya jujur. Pernyataan yang hampir sama juga terdapat pada ISA No. 200 yang mengatakan bahwa auditor harus merencanakan dan melaksanakan audit dengan sikap skeptisme profesional, dengan mengakui bahwa ada kemungkinan terjadinya salah saji dalam laporan keuangan.
Skeptisme profesional auditor merupakan sikap (attitude) auditor dalam melakukan penugasan audit dimana sikap ini mencakup pikiran yang selalu mempertanyakan dan melakukan evaluasi secara kritis terhadap bukti audit. Karena bukti audit dikumpulkan dan dinilai selama proses audit, maka skeptisme professional harus digunakan selama proses tersebut. Skeptisme merupakan manifestasi dari obyektivitas. Skeptisme tidak berarti bersikap sinis, terlalu banyak mengkritik, atau melakukan penghinaan. Auditor yang memiliki skeptisme profesional yang memadai akan berhubungan dengan pertanyaan-pertanyaan berikut:
- Apa yang perlu saya ketahui?
- Bagaimana caranya saya bisa mendapat informasi tersebut dengan baik?
- Apakah informasi yang saya peroleh masuk akal?
Skeptisme profesional auditor akan mengarahkannya untuk menanyakan setiap isyarat yang menunjukkan kemungkinan terjadinya fraud.
Auditor menerapkan sikap skeptisme profesional pada saat mengajukan pertanyaan dan menjalankan prosedur audit, dengan tidak cepat puas dengan bukti audit yang kurang persuasive yang hanya didasarkan pada kepercayaan bahwa manajemen dan pihak terkait bersikap jujur dan mempunyai integritas. Dalam ISA No. 200, dikatakan bahwa sikap skeptisme professional berarti auditor membuat penaksiran yang kritis (critical assessment), dengan pikiran yang selalu mempertanyakan (questioning mind) terhadap validitas dari bukti audit yang diperoleh, waspada terhadap bukti audit yang bersifat kontradiksi atau menimbulkan pertanyaan sehubungan dengan reliabilitas dari dokumen, dan memberikan tanggapan terhadap pertanyaan-pertanyaan dan informasi lain yang diperoleh dari manajemen dan pihak yang terkait. Skeptisme profesional dalam penelitian ini menggunakan definisi yang digunakan oleh standar profesional akuntan publik di Indonesia yaitu sebagai sikap auditor yang mencakup pikiran yang selalu mempertanyakan dan melakukan evaluasi secara kritis terhadap bukti audit.