Ditjen Pajak Awasi Transaksi Kartu Kredit Anda
30 May 2016
Category: TAX
Penulis:
Dani Habibi Ridwan, S.E.
Akhir-akhir ini masyarakat khususnya pengguna kartu kredit ramai membicarakan isu Ditjen Pajak yang mulai mengintai transaksi Wajib Pajak pengguna kartu kredit. Hal itu memang benar, lewat Peraturan Menteri Keuangan No. 39/PMK.03/2016 yang diterbitkan 22 Maret 2016, penyelenggara kartu kredit wajib menyerahkan data transaksi nasabahnya kepada Ditjen Pajak. Demi mengejar target pajak tahun ini sebesar Rp1.360 triliun mau tidak mau pemerintah harus mencari cara atau celah bagaimana memastikan data Wajib Pajak sudah jujur dan benar salah satunya akan mengawasi data transaksi kartu kredit. Hal ini merupakan salah satu upaya pemerintah menyisir potensi penerimaan pajak dari wajib pajak orang pribadi. Bank atau lembaga penerbit kartu kredit, kini diwajibkan menyampaikan data-data transaksi kartu kredit ke Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak), paling lambat 31 Mei 2016.
Data yang disampaikan meliputi nama bank, nomor rekening kartu kredit, ID merchant, nama merchant, nama pemilik kartu, alamatnya Nomor Induk Kependudukan (NIK) atau paspor, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), bukti tagihan, rincian transkasi, dan pagu kredit nasabahnya.
Peraturan menteri itu mencatat 22 bank penyedia fasilitas kartu kredit yang wajib melaporkan data transaksi nasabahnya. Ke-22 bank itu adalah: Bank ANZ Indonesia, Bank Maybank Indonesia, BCA, Bank Danamon, dan Bank MNC Internasional. Lalu, Bank ICBC Indonesia, Bank Mandiri, Bank Mega, Bank Bukopin, Bank CIMB Niaga, BNI, BNI Syariah, Bank OCBC NISP, Pan Indonesia Bank, Bank Permata, BRI, dan Bank Sinar Mas. Selain itu, Standard Chartered Bank, Bank UOB Indonesia, QNB Indonesia, Bank HSBC dan Citibank N.A. Ada pula satu lembaga penyelenggara kartu kredit yaitu AEON Credit Services.
Selain itu, Data perbankan merupakan data potensial yang bisa digunakan Ditjen Pajak untuk memaksimalkan penerimaan pajak. Bisa disebut data adalah senjata. Perhimpunan Bank-bank Umum Nasional (Perbanas) menilai, penyerahan data transaksi kartu kredit kepada Ditjen Pajak ini tidak bisa dilakukan kepada nasabah secara umum, tetapi hanya untuk yang bermasalah. Artinya, bank tidak bisa dipaksa memberikan data transaksi kartu kredit nasabah karena terikat pada aturan kerahasian bank dalam Undang-undang Perbankan. Apabila bank sembarangan memberikan data itu, bank bisa dituntut karena melanggar undang-undang.
Saat ini memang mengakses data sektor perbankan masih sulit karena dilindungi oleh Undang-undang Perbankan yang menjamin kerahasiaan data para nasabah. Walaupun dalam pasal 40 ayat 1 Undang-Undang nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan menyebut bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya, tapi ada perkecualian. Untuk urusan perpajakan, peradilan, hingga utang-piutang, bank bisa membuka data nasabah.
Kebijakan pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan No. 39/PMK.03/2016 memang secara tidak langsung berdampak pada meningkatnya penutupan kartu kredit oleh nasabah. Namun jangan kawatir, Ditjen Pajak menghimbau agar masyrakat tidak perlu panik atau takut karena pada dasarnya data dari transaksi kartu kredit ini hanya sebagai data pembanding dari data wajib pajak yang sudah dimiliki oleh ditjen pajak. Jadi, kita sebagai Wajib Pajak tidak perlu takut apabila kita sudah melaporkan data kita ke Ditjen Pajak melalui SPT Tahunan dengan cara baik, jujur, dan benar sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku.