Peran CHIEF HUMAN RESOURCES (CHR) Sebagai “CEO SOULMATE” Dalam Menghadapi Krisis Di Perusahaan
19 December 2015
Category: HUMAN RESOURCE
Penulis:
Wahyu Intan Martina, S. Psi
Dalam satu sesi pertemuan dengan Direksi atau Chief Executive Officer suatu Perusahaan seringkali kita dihadapkan pada satu diskusi menarik dimana ada beberapa sudut pandang yang muncul dalam menghadapi situasi saat ini. Kondisi yang kata beberapa pihak disebut krisis atau penuh ketidakpastian seperti regulasi pemerintahan yang selalu berubah, aturan upah yang tidak memihak dari sisi pengusaha dan bahkan pesaing yang sudah berani melanggar integritas serta kode etik semata demi memperoleh profit.Tidak bisa dipungkiri sebagian Direksi merasa pesimis bahwa bisnis yang ditekuni akan gulung tikar beberapa tahun ke depan jika kondisinya masih seperti ini. Sementara Direksi lainnya justru menyikapi sebagai suatu peluang karena bisa saja kebijakan yang ditetapkan Pemerintah justru berpihak kepada mereka.
Demikian menghadapi persaingan global Masyarakat Ekonomi Asean 2015 dan AFTA 2020. Persaingan bisnis justru semakin kejam dimana CEO harus menetapkan pilihan mau memilih strategi bertahan dengan memperkuat pasar dalam negeri melalui peningkatan Quality, Cost dan Delivery. Ataukah mengambil opsi kedua memperluas pasar sehingga semakin dikenal di pasar ASEAN melalui dua keuntungan simultan melalui efisiensi biaya dan efektifitas pasar. Keputusan strategi ini diambil tentu saja memerlukan rencana aksi yang berbeda dan tentu saja berdampak kepada persiapan SDMnya. Tidak mudah mendidik karyawan untuk mau berkarir di pasar luar terutama jika tidak memiliki daya saing.
Namun yang ada begitu ditengarai serta menghadapi suatu krisis situasinya menjadi berubah. Ibarat matahari bersinar dengan sangat teriknya tiba-tiba tanpa sebelumnya disertai mendung.. topan disertai angin datang dengan begitu dahsyatnya. Ibarat menyetir kendaraan dengan terbiasa injakan gas penuh melalui jalanan yang lenggang tiba-tiba harus mengerem berkali-kali karena kalau tidak dapat celaka.
CEO yang tenang dan sudah terbiasa menghadapi krisis maka akan bertindak cermat dengan melakukan program CARE terhadap karyawan semata agar mereka tetap tenang dan mendukung segala program yang diupayakan CEO agar Perusahaan dapat terhindar krisis dengan baik. Sementara CEO yang panik akan segera mengambil tindakan hanya semata menunjukkan bahwa ia memiliki ‘sense of urgency’ melalui program FIRE (pengetatan ikat pinggang semata melindungi hasil keuangan di rugi laba dan neraca tahun ini).
Pengetatan ikat pinggang tersebut diantaranya :
1. Memangkas semua biaya yang dapat dipangkas (yang penting cost reduction dan bukan cost management).
2. Menunda semua investasi yang ada.
3. Mengurangi karyawan dan fasilitas buat karyawan.
4. Melakukan sejumlah program lainnya sekedar untuk menyelamatkan angka-angka keuangan.
Hasilnya dalam jangka pendek akan terasa dimana angka metriks serta rasio keuangan bisa dikelola dengan baik. Cadangan kas dan siklus operasi terjaga dengan baik serta piutang mampu dikelola dengan prima. Bisa dikatakan bahwa buku Perusahaan akan tampil dengan baik meskipun krisis melanda.
Namun benarkah demikian?
Jika dicermati bisnis itu bukan sekedar angka akan tetapi bagaimana angka terjadi. Yang terpenting dari keseluruhannya adalah bagaimana tindakan yang diambil terhadap berdampak atau memiliki implikasinya di jangka mendatang.. Apakah itu jangka menengah ataupun jangka panjang.
Kalau sedang dalam memesan sesuatu kepada pemasok namun kemudian membatalkan sepihak dengan dalih krisis sehingga tidak terkena penalty atau pembayaran atas pesanan dilakukan sekenanya tanpa mau tahu bahwa kondisi pemasok juga butuh dana untuk membiayai operasionalnya. Atau kurs mata uang diatur sendiri, berkedok retur barang karena mengetahui secara pasti bahwa barang tersebut kelihatannya tidak laku dijual dan yang paling parah memanfaatkan kekuatan untuk menekan dengan berdalih bahwa ini dampak dari krisis global.. Bisa diduga bagaimana hubungan kita selanjutnya dengan pemasok??
Belum puas menekan pemasok, karyawan juga diancam dengan tak mau tahu bahwa target harus tetap dicapai sementara caranya bukan sebagai ukuran. Norma-norma dilanggar karena esensi yang ditekankan “bagaimana pengeluaran harus diturunkan hingga batas minimal namun target harus dicapai hingga angka maksimal.” Dalam jangka pendek, aksi premanisme ini berhasil karena hasil keuangan kelihatan kuat akan tetapi tanpa disadari CEO tersebut akan mengorbankan masa depannya (eksistensi dan going concern)hanya semata memikirkan pencapaian kinerja hasil tahun ini.
Disinilah peran CHR menjadi sangat vital agar gerakan kalut tidak terjadi. Karena seperti halnya jika ingin mencapai suatu tujuan maka karyawan adalah ‘kendaraan’ yang membuat bisnis dapat sustainability hingga jangka panjang. Peran CHR memberikan masukan kepada CEO agar moral dan semangat karyawan tetap terjaga, kemitraan dengan pelanggan serta hubungan baik dengan pemasok tetap menjadi yang utama.
CHR bukan sebagai tukang jagal yang mengeksekusi keinginan pimpinan untuk melakukan program yang merusak semangat karyawan serta nilai dan falsafah Perusahaan. Sebaliknya harus bersikap proaktif menjadi ‘transition atau crisis team’ di Perusahaan. Melalui kekuatan ‘human spirit’ dengan melakukan langkah-langkah strategis bersama CEO agar membuat karyawan menjadi superteam guna menghadapi krisis tersebut (During crisis, CEO is the main target of HR to instill what he believes during great time”)..
Mengingat CHR adalah bagian dari Team Manajemen maka ada beberapa langkah yang harus dilakukan dalam krisis agar dapat menjadi ‘soulmate’ CEO :
1. Mengerti akar permasalahan yang menjadi penyebab krisis di Perusahaan. Hal ini dapat juga dilakukan dengan membuka kesempatan terhadap tenaga ahli atau konsultan yang terbiasa menghandle ini.
2. Berpartisipasi secara aktif dalam mengusulkan langkah penyelamatan dengan mempertimbangkan aspek tidak hanya jangka pendek namun juga jangka medium dan jangka panjang.
3. Mengusulkan team penyelamat krisis dengan menentukan siapa karyawan potensial yang bisa dilibatkan.
4. Membuat team yang cross functional dan cross business untuk bisa membuat terobosan inovasi sehingga diharapkan dapat melakukan lompatan ketika krisis.
5. Komunikasi intens (secara terus menerus) dengan CEO untuk memahami yang menjadi harapan.
6. Menjalin komunikasi dengan seluruh karyawan sehingga memiliki kesamaan pandang dalam menghadapi krisis.
7. Menyarankan dan membimbing CEO agar di kondisi krisis ini justru semakin erat ikatannya dengan karyawan dan dapat berkomunikasi ‘heart to heart’ sehingga semangat karyawan justru semakin meningkat.
8. Aktif dalam melakukan evaluasi bulanan, mingguan bahkan harian terhadap ‘crisis action’ yang sudah disepakati. Bukan hanya sebagai pengamat namun juga menggerakkan irama efisiensi Perusahaan dalam koridor yang tepat dan melaporkan secara rutin kepada CEO sebagai progress.
Tentu saja ini semua bisa berhasil jika komunikasi terus dijalankan secara transparan baik dengan CEO maupun karyawan. Dengan pendekatan yang memadai karyawan akan mengerti seperti bahwa ‘we are not in normal time, we are in crisis. We can not do business as usual etc..” Menumbuhkan paradigma demikian harus tetap dengan suasana positif sehingga disikapi dengan sesuatu yang positif juga oleh karyawan.
Akan menjadi tugas yang ringan bukan ketika CHR berada di tengah kawanan gembala dan domba-dombanya. Karyawan sebagai domba yang baik dalam menghadapi krisis dan tetap membuat eksekutif atau CEO menjadi gembala yang baik. Daripada berada di tengah serigala ataupun tukang jagal?? (by IN)