Articles

Read the articles about accounting,internal audit, tax, human resource,information and technology.

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Atas Barang Hasil Pertanian

26 February 2015
Category: TAX
Penulis:         SUWANTO DIAN PRANOTO, S.E
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Atas Barang Hasil Pertanian

Indonesia adalah Negara agraris yang kaya akan hasil pertanian, kehutanan, perkebunan, peternakan, dan perikanan. Oleh karena itu sebagian besar masyarakat Indonesia melakukan kegiatan usaha di bidang pertanian maupun yang berkaitan dengan pertanian. Hal itu terbukti dengan tercapainya swasembada pangan pada tahun 1984 melalui gerakan “Revolusi Hijau” yaitu gerakan untuk meningkatkan produksi pangan melalui usaha pengembangan teknologi pertanian. Saar mauoun tidak sadar, pemerintah memiliki perana penting dibalik keberhasilan swasembada pangan tersebut.

Pemerintah iku menyukseskan pertanian Indonesia dengan membuat kebiajakan kebijakan yang mendukung pertanian dengan menerbitkan peraturan. Salah satu kebiajakan yang dibuat pemerintah yaitu peraturan pajak mengenai barang pertanian. Peraturan perpajakan merupakan faktor penentu yang penting bagi masa depan pertanian Indonesia.

Barang Hasil Pertanian yang dibebaskan PPN

Pada prinsipnya didalam UU Nomor 8 tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang Undang Nomor 42 Tahun 2009 Pajak pertambahan Nilai dikenal dua jenis fasilitas di bidang PPN ynag memiliki perlakuan yang berbeda, yaitu :

    1.Pajak terutang tidak dipungut, dan

    2.Pembebasan dari pengenaan pajak.

Hal terpenting yang harus dipahami berkenaan dengan fasilitas PPN tersebut adalah bahwa suatu transaksi yang sebenarnya merupakan objek PPN atau lebih telah memenuhi syarat untuk dikenakan PPN. Karena sebab tertentu dibebaskan dari PPN atau PPN nya tidak bisa dipungut dengan Peraturan Pemerintah. Oleh karena itu, harus dibedakan dengan konsep tidak dikenakan PPN yaitu transaksi yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk dikenakan PPN, misalnya barang yang diserahkan bukan BKP.

Tujuan dan maksud diberikannya fasilitas ini adalah untuk mendorong berhasilnya sektor-sektor kegiatan ekonomi yang berprioritas tinggi dalam skala nasional serta memperlancar pembangunan nasional.

Dasar Hukum pembebasan PPN adalah pasal 16B UU no. 8 tahun 1983 diubah terakhir kali UU No. 42 Tahun 2009. Pasal 16B ini memberikan wewenang keada Pemerintah untuk memberikan fasilitas berupa PPN tidak dipungut atau PPN dibebaskan untuk :

    1.Kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu di dalam daerah pabean;

    2.Penyerahan Barang Kena Pajak atau Penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu;

    3.Impor Barang Kena Pajak tertentu;

    4.Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;

    5.Pemanfaatan Jasa Kena Pajak tertentu dari luar Daerah Pabean ke dalam Daerah Pabean.

Peraturan Pemerintah NO. 31 tahun 2007 mengatur tentang Impor dan atauu penyerahan barang kena pajak tertentu yang bersifat strategis yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.

Berdasarkan peraturan tersebut barnag pertanian termasuk dalam barang yang bersifat strategis. Brang hasil pertanian adalah barang yang dihasilkan dari kegiata usaha di bidang:

    1.Pertanian, perkebunan dan kehutanan;

    2.Petrnakan, perburuan atau penangkapan,maupun penangkaran; atau

    3.Perikanan baik dari penangkapan atau budidaya,

Yang dipetik langsung, diambil langsung atau disadap langsung dari sumbernya termasuk, yang diproses awal dengan tujuan untuk memperpanjang usia simpan atau mempermudah proses lebih lanjut, sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Pemerintah nomor 31 tahun 2007.

Barang Hasil Pertanian yang Dikenakan PPN

Pada tanggal 25 Februari 2014 telah diterbitkan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 70P/HUM/2013. Putusan tersebut mengabulkan permohonan uji materiil dari pemohon yaitu Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN). Isi putusan tersebut memerintahkan kepada Presiden Republik Indonesia untuk mencabut Pasal 1 ayat (1) huruf c, Pasal 1 ayat (2) huruf a, Pasal 2 ayat (1) huruf f, dan Pasal 2 ayat (2) huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.

Dampak dari putusan tersebut yaitu pengusaha wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, apabila sampai dengan suatu bulan dalam tahun buku jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah)

Pasal 8 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2011, mengatur bahwa dalam hal 90 hari setelah putusan Mahkamah Agung tersebut dikirim kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Peraturan Perundang-undangan tersebut, ternyata Pejabat yang bersangkutan tidak melaksanakan kewajibannya, demi hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan tidak mempunyai kekuatan hukum. Berdasarkan data pada Sistem Informasi Administrasi Perkara Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan Mahkamah Agung Nomor 70P/HUM/2013 telah dikirim pada tanggal tanggal 23 April 2014. Dengan demikian apabila Pemerintah sampai dengan tanggal 21 Juli 2014 belum mencabut Pasal 1 ayat (1) huruf c, Pasal 1 ayat (2) huruf a, Pasal 2 ayat (1) huruf f, dan Pasal 2 ayat (2) huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007, maka sejak tanggal 22 Juli 2014 ketentuan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum.

Implikasi Perpajakan Putusan Mahkamah Agung Nomor 70P/HUM/2013
Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung tersebut, maka implikasi perpajakannya adalah sebagai berikut:

  1. Barang hasil pertanian berupa buah-buahan dan sayur-sayuran sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 termasuk barang yang tidak dikenakan PPN (Bukan Barang Kena Pajak) sesuai Pasal 4A ayat (2) huruf b Undang-Undang PPN sehingga atas penyerahan, impor, maupun ekspornya tidak dikenai PPN.
  2. Barang hasil pertanian lain yang tidak ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007, yaitu beras, gabah, jagung, sagu dan kedelai adalah barang yang tidak dikenakan PPN (Bukan Barang Kena Pajak) sesuai Pasal 4A ayat (2) huruf b Undang-Undang PPN sehingga atas penyerahan, impor, maupun ekspornya tidak dikenai PPN.
  3. Barang hasil pertanian yang merupakan hasil perkebunan, tanaman hias dan obat, tanaman pangan, dan hasil hutan sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 yang semula dibebaskan dari pengenaan PPN berubah menjadi dikenakan PPN sehingga atas penyerahan dan impornya dikenai PPN dengan tarif 10%, sedangkan atas ekspornya dikenai PPN dengan tarif 0% (perincian jenis barang terlampir).
  4. Pengusaha (orang pribadi maupun badan) yang melakukan penyerahan barang hasil pertanian tersebut wajib memungut PPN dan untuk itu wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, kecuali pengusaha yang termasuk pengusaha kecil dengan omzet sampai dengan Rp 4,8 milyar per tahun sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 197/PMK.03/2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai.

Contoh Kasus

  1. Pak Arifin adalah seorang pedagang pengumpul. Usahanya adalah berdagang buah-buahan dan sayur-sayuran yang dibeli dari petani di daerah Sulawesi, kemudian dijual ke industri pertanian di Samarinda. Usahanya cukup berkembang, sampai pada bulan Mei tahun 2014 Pak Joko memiliki omset sebesar Rp 10 milyar. Berdasarkan Putusan MA Nomor 70P/HUM/2013, buah-buahan dan sayur-sayuran yang dulunya dibebaskan PPN, sekarang menjadi tidak terutang PPN karena bukan BKP. Jadi, sejak tanggal 22 Juli 2014 Pak Arifin tidak perlu menjadi PKP karena melakukan penyerahan yang tidak terutang PPN.
  2. PT. Kopi Robusta adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang perkebunan kopi. PT. Kopi Robusta menyerahkan biji kopi kering. PT. Kopi Robusta memiliki omset sebesar Rp 100 milyar. Berdasarkan Putusan MA Nomor 70P/HUM/2013, biji kopi kering yang dulunya dibebaskan PPN, sekarang menjadi terutang PPN karena menjadi BKP. Jadi, sejak tanggal 22 Juli 2014 PT. Kopi Robusta wajib membuat Faktur Pajak atas penyerahan biji kopi kering dengan kode Faktur Pajak “01” bukan “08”.

Dapat diambil lesimpulan dari artikel diatas ternyata barang-barang yang bersifat strategis itu dikenakan PPN tapi harus ada spesifikasi-spesifikasinya tersendiri dan tujuan untuk digunakannya.

Penutup
Dasar hukum pengenaan PPN pada barang hasil pertanian adalah putusan MA 70P/2013 dan bukan SE - 24/PJ/2014. Putusan tersebut mengubah ketentuan PPN atas barang pertanian. Surat Edaran merupakan untuk menyampaikan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia kepada petugas pajak di seluruh Kantor Wilayah DJP, dan SE tidak dapat dijadikan sebagai dasarhukum.

Demikian penjeasan artikel kami, semoga saja yang membaca dapat pengetahuan dan wawasan terbaru tentang arti peraturan perpajakan. Terima kasih

   For Further Information, Please Contact Us!