Articles

Read the articles about accounting,internal audit, tax, human resource,information and technology.

BRANDS COLLABORATION: STRATEGI JITU MENANGKAN KOMPETISI DI MARKETPLACE 2020

12 March 2020
Category: SECRETARY
Penulis:         Melisa Novianti, S.E.
BRANDS COLLABORATION: STRATEGI JITU MENANGKAN KOMPETISI DI MARKETPLACE 2020

Memasuki awal tahun 2020 berbagai produk dan jasa banyak membanjiri pangsa pasar dimana tidak hanya didominasi oleh bisnis dengan skala besar, namun bisnis kecil pun turut ikut andil. Wajar saja jika tensi persaingan antar produk jadi semakin meningkat. Tetapi, apakah perusahaan atau merek hanya bisa saling bersaing saja? Jawabannya tentu saja tidak. Mereka juga bisa saling bergabung dan berkolaborasi. Terutama memasuki era persaingan desruktif digital ini, semua merek yang masih mempertahankan prinsip, konsep, maupun strategi lamanya, tiba-tiba dikejutkan oleh merek-merek baru yang kian menggempur pasar dan menggerogoti pangsa pasar mereka. Melawan arus pun kesannya jadi semakin tidak berguna. Berubah menjadi salah satu tindakan yang harusnya dilakukan oleh para pemilik merek yang masih mempertahankan konsep lama. Belum lagi fenomena munculnya influencer-influencer dalam perkembangan teknologi digital telah mengubah perilaku dan kebiasaan konsumen dalam berbelanja maupun mengonsumsi sesuatu produk atau jasa.

Menilik dari perkembangan industri sekarang menuju ke era digital dan mobile membuat batasan antarnegara dan industri menjadi semakin kabur. Perusahaan yang bergerak di suatu industri tertentu kini mendadak harus bersaing dan berhadapan dengan perusahaan lain yang bahkan sebelumnya berasal dari industri yang berbeda. Munculnya perusahaan-perusahaan baru yang menganut sharing economy merupakan salah satu fenomena yang banyak terjadi akhir-akhir ini. Sharing economy adalah suatu ekosistem bisnis yang bersifat sosial dan sering kali berbasis layanan komunitas, dimana semua pihak bisa saling berbagi dan mengonsumsi semua sumber daya yang ada. Pada intinya, ada peluang besar yang bisa dimanfaatkan dimana kita tidak perlu lagi memiliki suatu aset untuk dapat menggunakannya. Ada banyak alasan mengapa sistem sharing economy ini menjadi sesuatu yang menarik. Aset yang dulu dianggap terlalu mahal untuk dibeli atau di-maintain, kini bisa disewa dan bisa digunakan dengan biaya yang jauh lebih murah tentunya. Inilah mengapa strategi perusahaan atau merek harus lebih fokus untuk menjalin kerja sama daripada berusaha menggempur atau menyaingi sumber daya merek lainnya.

Kita akan segera melihat di tahun ini bahkan di masa yang akan datang fenomena peningkatan strategi kolaborasi, baik kolaborasi antar brand yang sudah terkenal maupun antara brand lama dengan brand baru. Menurut penelitian Mohan Sahwney, profesor Kellog, sifat menguntungkan kolaborasi ini mutualisme yang seharusnya mendatangkan keuntungan untuk menciptakan suatu kreativitas baru. Kolaborasi antar brand termasuk salah satu strategi mutualisme yang dapat dilakukan untuk saling bertukar gagasan dan penciptaan bersama sebuah produk, platform, maupun bahkan desain baru. Beberapa brand ternama sekaligus marketleader pun melakukannya. Aqua pernah menggandeng desainer ternama Indonesia, Sebastian Gunawan untuk mendesain botolnya. Kemudian kolaborasi antara perusahaan angkutan online GO-JEK dan perusahaan taksi konvensional Blue Bird yang mendapat apresiasi oleh Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi. Sedangkan model kolaborasi antara brand lama dengan brand baru juga bisa terjadi misalnya, brand kosmetik baru Mizzu menggandeng brand lawas Khong Guan mengeluarkan lini kosmetik dengan packaging yang menarik.

Bagaimanakah hasil nyata sebuah kolaborasi? Telah banyak kasus kolaborasi yang berhasil bahkan mendunia, pertama, sebut saja Uniqlo yang didirikan Yanai Tadashi pada 1984 yang merupakan salah satu peritel busana paling kaya sedunia menurut majalah Forbes. Ini berkat strategi kolaborasi yang dijalankannya sejak 2004 dalam bentuk corporate collaboration. Sempat mengalami masa krisis saat diterpa persaingan sengit, strategi harga rendah yang diterapkan tak cukup untuk mengangkat angka penjualan karena kecenderungan desain yang seragam untuk berbagai karakter individu. Dengan berkolaborasi Uniqlo berhasil mengembangkan inovasi lebih lanjut dalam hal desain maupun fungsi fashion mereka. Kedua, contoh kerja sama antarmerek, Berbagai merek yang sukses dipakai sebagai ingredient branding untuk banyak merek lain adalah Dolby (untuk segala hal yang menyangkut teknologi suara) untuk jaringan bioskop, Teflon untuk segala sesuatu yang berhubungan dengan lapisan antilengket peralatan masak, Kerja sama merek seperti ini disebut ingredient branding, terutama sangat terasa untuk produk-produk yang sarat teknologi. Ini karena produk teknologi biasanya punya banyak komponen di dalamnya, seperti chip, prosesor, memori, pembangkit tenaga (power supply), dan lainnya. Suatu gawai atau produk teknologi tertentu bisa menggunakan dan mengandalkan kualitas komponen produk dari merek lain. Ketiga, bentuk kerja sama lain yang bisa ditempuh adalah licensing, strategi lisensi dianggap sebagai salah satu jalan pintas bagi suatu merek dalam membangun brand equity. Oleh karena itu, strategi ini jadi semakin populer digunakan ke depannya. Sebagai contoh dalam menyambut Tahun baru Tikus di Imlek 2020 ini brand fashion Gucci berkolaborasi dengan Disney dengan mengeluarkan sekitar 70 koleksi baru limited edition yang dihiasi gambar Mickey dan Minnie Mouse khas Disney. Keempat, bentuk kerja sama baru yang timbul karena perkembangan media social telah menciptakan influencer. Jika suatu brand memutuskan melakukan influencer collaboration ini maka seharusnya brand memilih seorang influencer yang bisa merefleksikan image dari brand itu. Dan sebagai timbal balik, brand yang mengajak kerja sama mengharapkan peningkatan penjualan dari para pengikut loyal influencer ini.

Dari semua penjelasan di atas tentu sudah bisa disimpulkan bahwa semakin ke depan, perusahaan harus lebih concern memikirkan strategi berkolaborasi ini. Tanpa adanya kerja sama mustahil suatu merek bisa bersaing di pasar.

Pertimbangan yang bisa kita digunakan dalam memikirkan kerja sama merek adalah:

·Kemampuan yang tidak atau belum dimiliki suatu merek?

·Hambatan (sumber daya orang, waktu, uang) yang tengah dialami suatu merek?

·Berapa pertumbuhan atau jumlah revenue yang bisa kita dapatkan sekarang?

·Kerja sama apa yang bisa dijalin untuk memperkuat brand equity?

·Apakah nantinya ada risiko kanibalisme merek akibat kerja sama dengan merek lain yang lebih kuat?

Jadi kekuatan kolaborasi merek terjadi terlihat dalam tiga ciri, Pertama, ada potensi untuk kekuatan yang lebih besar dalam mewujudkan tujuan dan visi perusahaan. Orientasi yang menekankan kebaikan kelompok di atas keuntungan pribadi, yang akhirnya akan menempatkan kebutuhan pelanggan di atas kepentingan diri mereka sendiri. Hal ini menciptakan brand experiences yang hebat. Kedua, ada potensi memprediksi dan melahirkan keputusan lebih baik daripada seorang ahli sekalipun saat individu-individu tersebut bekerja sama. Ketiga, ada potensi meningkatkan kemampuan mendengarkan dan merespons yang lebih baik ke konsumen atau voice of customers. Termasuk juga melakukan monitoring pada media sosial dengan menganalisis kesan dan pesan yang disampaikan tentang brand kita apakah positif, negatif, dan netral. Jika kolaborasi telah tepat, seharusnya kita dapat mengetahui arah minat dan kecenderungan dari pasar. Sehingga kita mampu memprediksi pasar dengan lebih akurat sehingga mampu melakukan inovasi yang tepat. Seperti apa yang pernah dikatakan Simon Mainwaring: ”Effectively, change is almost impossible without industry-wide collaboration, cooperation and consensus.” Akhir kata, sudah siapkah merek Anda untuk berkolaborasi?

   For Further Information, Please Contact Us!