APA KABAR RENCANA REDOMINASI RUPIAH PADA TAHUN 2020?
22 November 2019
Category: SECRETARY
Penulis:
Melisa Novianti, S.E.
Meski akhirnya batal diujicobakan mulai 1 Januari 2020, wacana tentang redenominasi rupiah sempat meramaikan Indonesia sejak beberapa tahun terakhir. Pro dan kontra mewarnai wacana redenominasi ini. Namun perlahan, isu redenominasi rupiah ini tenggelam, dan tergantikan oleh riuh rendah masalah politik di Indonesia. Pelaksanaan redenominasi yang semula ditargetkan terjadi pada 1 Januari 2020, memang bisa jadi tertunda. Seperti kita telah ketahui bahwa hingga saat ini landasan hukum untuk redenominasi belum dirilis, padahal masa jabatan anggota DPR RI periode 2014-2019 akan segera berakhir. Saat ini Bank Indonesia (BI) kembali melanjutkan kajian terkait hal tersebut dengan mencermati kondisi perekonomian Indonesia dan juga situasi global dunia yang terjadi saat ini. Siklus politik nasional serta perang dagang antara Amerika dan China yang mempengaruhi nilai tukar rupiah dan neraca transaksi berjalan (current account deficit/CAD), menjadi kajian penting dalam merumuskan pelaksanaan redenominasi rupiah di Indonesia.
Gagasan untuk meredenominasi rupiah di Indonesia pertama kali mengemuka saat Darmin Nasution menjabat sebagai Pejabat Sementara (Pjs) Gubernur BI menggantikan Gubernur BI Boediono yang menjadi Wakil Presiden di Tahun 2010. Lantas, apa itu redenominasi yang telah digadang-dagang sejak lama? Menyadur dari KBBI, redenominasi adalah penyederhanaan nilai mata uang rupiah tanpa mengubah nilai tukarnya. Agar lebih mudah dipahami redenominasi rupiah merupakan penyederhanaan jumlah digit angka nol pada pecahan rupiah namun tanpa mengurangi daya beli, harga atau nilai rupiah terhadap harga barang dan/atau jasa, yakni 3 digit angka nol yang paling belakang.
Redenominasi berbeda dengan sanering atau pemotongan (nilai) uang, sebagaimana yang pernah terjadi di Indonesia tepatnya pada 25 Agustus 1959. Pada saat itu, uang pecahan 500 dan 1.000 rupiah diturunkan nilainya menjadi 50 rupiah dan 100 rupiah. Dengan kata lain, nilai uang dipangkas hingga 90 persen. Bedanya dengan sanering, redenominasi tidak mengurangi nilai mata uang, sehingga tidak mempengaruhi harga barang. Faktor psikologis dan masalah kebiasaan pada masyarakat Indonesia pada umumnya mengenai penyederhanaan nilai mata uang inilah yang harus disosialisasikan dengan baik jika program redenominasi kelak betul-betul akan diberlakukan.
Jika di masa depan redenominasi rupiah diberlakukan di Indonesia, akan ada lebih banyak efek positif dibanding negatifnya. Pertama, redenominasi akan memudahkan kita untuk menghitung, sebab tiga angka nol yang menyertai di belakang satuan uang tidak digunakan. Di dalam perhitungan perbankan, praktik penyederhanaan digit mata uang yang dilakukan dengan mengurangi tiga angka nol pada rupiah akan menghemat biaya teknologi yang digunakan. Selain itu, bentuk penyederhanaan digit juga mempermudah untuk membaca laporan keuangan dalam praktik akuntansi. Kedua, redenominasi rupiah juga dapat menjadi suatu cara untuk meningkatkan kepercayaan negara lain terhadap mata uang rupiah serta mencerminkan kesetaraan kredibilitas dengan negara lainnya di suatu kawasan. Ketiga, redenominasi rupiah dapat mengurangi tingkat inflasi di Indonesia.
Tapi di sisi lain, redenominasi rupiah dapat memberikan dampak negatif berupa melambungnya laju inflasi. Hal ini hanya dapat terjadi jika ketersediaan satuan mata uang terkecil tidak tersedia dan terdistribusi dengan baik ke seluruh masyarakat Indonesia di seluruh wilayah kedaulatan Indonesia. Dengan semakin kecil satuan uang yang berlaku saat redenominasi rupiah, maka BI harus menyiapkan satuan uang terkecil. Ketersediaan satuan uang terkecil semisal sen ini harus tetap ada meski pembayaran digital di saat yang bersamaan juga mulai marak di Indonesia. Ketersediaan satuan uang terkecil dan pendistribusiannya ini sangat penting dan BI harus menyiapkan hal tersebut.
Satuan uang terkecil dapat menjadi salah satu alat pengontrol inflasi. Kita ambil contoh jika harga suatu barang atau jasa bernilai 1.500 rupiah dan jika redenominasi nantinya sudah berlaku maka nilainya menjadi 1,5 rupiah, nominal tersebut masih tetap bisa terbayarkan dan terjangkau oleh masyarakat. Namun akan berbahaya jika nominal 1,5 rupiah tersebut dibulatkan menjadi 2 rupiah atau setara 2.000 rupiah. Selain itu, sangat penting juga bagi pulau-pulau terluar dan pedalaman Indonesia untuk memiliki pecahan uang terkecil ini. Karena kalau tidak tersedia dan terdistribusi dengan baik, akan memicu inflasi yang tidak perlu saat masyarakat menggunakan uang tunai. Terlebih di Indonesia, yang penggunaan uang tunai sebagai alat pembayaran masih lebih tinggi dibandingkan dengan transaksi non-tunai.
Lantas, siapkah Indonesia dengan redenominasi? Menurut pendapat Ekonom dari Institute For Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira Adinegara menyebutkan, terdapat tiga syarat utama sebelum dilakukannya redenominasi mata uang oleh sebuah negara. Pertama, nilai tukar stabil. Kedua, inflasi terkendali dan ketiga fundamental ekonomi harus sedang dalam kondisi yang baik. Lebih lanjut lagi menurut Bhima, perekonomian Indonesia diperkirakan masih akan menghadapi tekanan eksternal maupun internal yang cukup besar akibat aksi perang dagang Amerika Serikat - China dalam kurun waktu dua tahun ke depan. Tekanan tersebut mengakibatkan rendahnya harga komoditas yang ujungnya memengaruhi kinerja ekspor dan impor serta defisit transaksi berjalan (current account defisit/CAD).
Pertumbuhan ekonomi RI yang juga masih terbelenggu di kisaran 5 persen dengan daya beli masyarakat sementara ini masih dalam tahap pemulihan. Risiko laju kenaikan inflasi yang akan terjadi karena rencana kebijakan mencabut subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan tarif listrik di tahun 2020 juga patut menjadi pertimbangan dalam penetapan pelaksanaan redenominasi. Inflasi pangan juga perlu dicermati, di samping nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang masih berisiko melemah hingga ke kisaran Rp14.500 per dolar AS di penghujung 2019. Jika redenominasi rupiah dilakukan secara terburu-buru, justru kepercayaan masyarakat menjadi menurun terhadap rupiah.
Apabila kepercayaan masyarakat sudah terlanjur menurun terhadap rupiah maka akan menambah kepanikan dan hal ini akan menaikkan permintaan masyarakat terhadap mata uang dolar AS. Dengan demikian, nantinya tujuan redenominasi bisa tidak tercapai. Selain itu, pelaksanaan redenominasi rupiah masih membutuhkan persiapan dan sosialisasi yang panjang. Turki, sebagai salah satu contoh negara yang pernah dan berhasil melakukan redominasi mata uangnya memerlukan waktu selama 10 tahun untuk persiapan dan sosialisasi redenominasi atas mata uang lira sebanyak 6 digit angka nol. Persiapan dan sosialisasi yang dilakukan oleh Turki terutama berkaitan dengan transaksi pembukuan dan transaksi pelaku usaha di masyarakat. Hal ini disebabkan biaya transisi menuju redenominasi ini juga terbilang mahal bagi para pelaku usaha.
Belajar dari pengalaman sanering di pengujung tahun 1950-an dan redominasi yang dilakukan pada 1965 di Indonesia, edukasi dan sosialisasi harus dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan terutama di pedesaan. Hal ini perlu dilakukan agar tidak menimbulkan gejolak di industri keuangan Indonesia. Jadi kesimpulannya, dikarenakan banyak hal yang harus dipertimbangkan kembali maka RUU Redenominasi kecil kemungkinan disahkan hingga 2024 mendatang.