STRATEGI PENGUATAN AUDITOR INTERNAL PEMERINTAH
18 October 2019
Category: INTERNAL AUDIT
Penulis:
Suryo Kuncoro Yudho, S.E.
Maraknya pemberitaan pejabat dan aparatur negara yang tertangkap operasi tangkap tangan KPK, hingga auditor pengawas intern pemerintah (APIP) menjadi dipertanyakan karena banyaknya pelanggaran berupa berupa penyalahgunaan wewenang oleh pejabat negara, pengabaian aturan oleh aparatur sipil negara, serta tidak transparansi penggunaan anggaran . APIP seharusnya bertugas menjaga pertahanan yang mampu mencegah dan menindak penyimpangan yang ada di dalam nstansi pemerintah. Terdapat beberapa permasalahan yang muncul pada intern APIP, permasalahan tersebut sebagai berikut
Permasalahan pertama muncul dari kedudukan APIP pada struktur organisasi di instansi tersebut. APIP pada kedudukannya memegang peranan penting hai terkait dengan sifat independensi auditor. Dalam profesi audit, independensi merupakan hal penting bagi auditor. APIP dalam pelaksanaan penugasanya tidak dapat berjalan optimal apabila didalam pelaksanaan penugasan tidak dapat lepas dari intervensi berbagai pihak. Kendala ini terlihat jelas apabila APIP yang beradqa di daerah (Inspektorat provinsi/kabupaten/kota). Di daerah, APIP pada struktur organisasinya berada di bawah sekretaris daerah.
Hal ini dapat menggambarkan bahwa intervensi sekretaris daerah atau pemimpin tertinggi daerah yang dimana APIP itu bertugas sangat tinggi terhadap hasil pengawasan APIP. Salah satu intervensi yang dilakukan adalah mutasi pejabat yang tidak memenuhi kriteria sebagai auditor. Mutasi ini sering terjadi dan bertujuan untuk melemahkan kinerja dari APIP dalam melakukan pengawasan.. Selain intervensi berupa mutasi pejabat atau pegawai, bentuk lainnya berupa pembatasan anggaran pada APIP. Hal ini tentu melemahkan gerak APIP dalam pelaksanaan penugasan. Hal ini sangat bertentangan dengan prinsip good governance.
Beberapa strategi yang dapat dilakukan adalah memisahkan fungsi audit intern pemerintah menjadi unit yang langsung bertanggung jawab kepada pemimpin tertinggi instansi, membentuk Komite Audit yang independen, serta perbaikan pola pengangkatan dan mutasi pejabat/pegawai pada unit audit intern. Strategi yang dapat diterapkan terkait pengangkatan/mutasi pegawai adalah dengan menetapkan kewenangan pengangkatan/mutasi auditor intern dilakukan oleh pejabat yang setingkat lebih tinggi dari pimpinan daerah tersebut. Strategi lain terkait dengan anggaran adalah dengan menerbitkan aturan yang mewajibkan persentase tertentu atas anggaran wajib digunakan untuk pengawasan. Tentu dengan formulasi yang mempertimbangkan anggaran untuk program utama instansi dan anggaran lain yang dipersyaratkan undang-undang harus tetap terlaksana.
Permasalahan kedua adalah kapabilitas APIP. Meskipun APIP telah menjadi unit yang terpisah pada struktur organisasi dan telah independent, masalah kapabalitas tetap menjadi kencala utama. Terdapat beberapa cara mengukur kapabilitas audit internal, salah satunya adalah dengan cara melalui indeks Internal Audit Capability Model (IACM). Model tersebut dikembangkan oleh The Institute of Internal Auditor Research Foundation (IIARF) yang merupakan lembaga riset Asosiasi Auditor Internal (IIA) dan menggambarkan kapabilitas auditor internal ke dalam angka skala lima (1 s.d. 5, dengan level 5 adalah tertinggi). Model tersebut diadopsi oleh BPKP, selaku pembina APIP Indonesia, untuk mengukur level kapabilitas APIP.
Permasalahan ketiga adalah paradigma yang dianut oleh APIP. APIP masih bersikap watchdog yang bertindak reaktif atas suatu permasalahan. Paradigma ini harus diubah, auditor saat ini diharuskan tidak hanya mampu memberikan jaminan (asurans) bahwa fungsi pemerintahan telah berjalan dengan baik tetapi juga harus mampu bertindak proaktif dan preventif untuk mencegah masalah yang sama terulang serta mencegah potensi masalah yang mungkin akan muncul.
tuntutan yang tidak dapat lepas dari APIP adalah memberikan nilai tambah bagi instansi. Strategi yang dapat dilakukan adalah melalui peningkatan fungsi asurans berbasis risiko (risk-based) serta penguatan fungsi konsultasi (consulting). Beberapa instansi saat ini juga telah menerapkan three lines of defense, yakni sistem pengawasan melalui tiga lini pertahanan: manajemen, unit kepatuhan internal, dan auditor internal. Setiap APIP tentu dituntut harus mampu menilai sejauh mana kondisi instansi yang diawasi, dan seberapa besar persentase asurans serta konsultasi yang harus dilakukan. Pendekatan yang digunakan juga harus mempertimbangkan prinsip bahwa APIP merupakan katalis untuk mencapai tujuan organisasi. Tentu diperlukan pemikiran-pemikiran yang cerdas dan maju dari setiap auditor.
Tantangan yang muncul selanjutnya adalah cara mendeteksi fraud dan pencegahan fraud pada instansi yang diawasi. Aksioma fraud menyatakan bahwa fraud merupakan sesuatu yang tersembunyi. Fraud tidak mudah ditemukan dengan kegiatan audit yang rutin dilaksanakan. Maka strategi yang dapat dilakukan adalah membuat sarana whistleblowing system yang terpercaya dan andal, mensosialisasikan sistem tersebut kepada masyarakat luas dan pegawai, dan mengelola aduan dengan baik dan tepat. Kerja sama dengan KPK dan aparat penegak hukum lainnya juga mutlak diperlukan untuk penanganan fraud lebih lanjut.
Terdapat strategi lain yang dapat dilakukan untuk pencegahan fraud adalah dengan cara meminimalisasir penyebab fraud, yakni kesempatan, tekanan, dan rasionalisasi. Terdapat tantangan lainnya berupa kerja sama APIP antar instansi untuk mendukung program pemerintah yang bersifat antar-lembaga. Sinergi ini diperlukan dalam mencapai tujuan bersama. Strategi ini dapat dilakukan dengan cara memasukkan program strategis nasional ke dalam pengawasan. Pengawasan yang sifatnya wajib dilakukan oleh seluruh APIP terkait dan menjadikan salah satu APIP sebagai leader, sepertinya diperlukan pula untuk program-program pemerintah yang strategis lainnya, seperti misalnya pengawasan atas pemanfaatan Dana Desa.
Tantangan terakhir adalah era digital komputerisasi. Perkembangan teknologi yang pesat dan semakin memudahkan pekerjaan, mendorong instansi untuk wajib mengadopsinya supaya dapat efisien dan efektif dalam operasional dan memudahkan koordinasi dengan instansi lainya. Tentu hal ini juga mempengaruhi kinerja APIP. Terkait hal ini, strategi yang harus dilakukan oleh APIP adalah harus belajar memahami dan menguasai teknologi yang digunakan oleh instansi. Utamanya melakukan audit berbasis teknologi informasi.
Penggunaan teknologi sebagai alat bantu audit juga diperlukan, di antaranya seperti penggunaan sistem audit elektronik yang paperless dan dapat diakses di mana saja (misal: kertas kerja elektronik) serta penggunaan teknik audit berbantuan komputer. Di masa depan mungkin saja porsi auditor untuk turun ke lapangan dapat dikurangi dan sebagai gantinya auditor dapat mengembangkan dan memanfaatkan kecerdasan buatan untuk membantu melaksanakan pengawasan secara digital dan real time.