Articles

Read the articles about accounting,internal audit, tax, human resource,information and technology.

AUDITOR'S NEGATIVE PRESSURE SHIELD - COMMITMENT AND PERSONALITY

28 February 2019
Category: AUDIT
Penulis:         Stefano Joseph, S.E.
AUDITOR'S NEGATIVE PRESSURE SHIELD - COMMITMENT AND PERSONALITY

Paradigma dan kewajiban dari seorang auditor adalah menjadi independen dan profesional. Dengan kata lain, sosok auditor yang seharusnya yaitu seorang profesional yang dipastikan ketidakgoyahannya dalam menghadapi banyak ‘godaan’ pada pekerjaannya. Namun sebagaimana yang diketahui banyak orang, di dalam lingkungan bisnis, kemunculan godaan tersebut hampir tidak mungkin untuk dihindarkan. Itulah mengapa, untuk menjadi seorang auditor yang profesional dan independen bukan perkara mudah bagi hampir seluruh auditor di dunia, bahkan yang bekerja di kantor akuntan publik terbaik sekalipun.

Efek negatif yang dialami auditor di antaranya dapat berasal dari hubungan dengan klien, hubungan hierarkis (atasan-bawahan), maupun hubungan horizontal (antarrekan kerja). Tekanan-tekanan ini dapat memicu ketergerusan prinsip-prinsip etis yang harus tetap dipegang sehingga keandalan hasil kerja dapat menjadi meragukan. Namun pengaruh negatif ini ternyata dapat tersaring dan tidak diikuti dengan perilaku auditor yang negatif pula selama auditor tersebut memiliki sejumlah faktor internal tertentu yang melekat pada diri auditor.

Sebuah studi di Jepang memberikan bukti empiris terkait dengan efek dari faktor-faktor internal auditor terhadap pekerjaan auditnya. Studi oleh Tsunogaya, Sugahara, dan Chand (2017) yang dipublikasikan dalam jurnal terkemuka di bidang Akuntansi menunjukkan bahwa komitmen dan karakteristik individu auditor menjadi faktor penting dan baik untuk mendukung pekerjaannya. Pasalnya kedua faktor ini dapat memitigasi efek-efek negatif yang menekan auditor yang dapat mendorong perilaku yang tidak semestinya.

Sederhananya, auditor yang memiliki komitmen tinggi dan kepribadian tertentu yang sejalan dengan standar etika profesi dapat mengatasi tekanan-tekanan yang dihadapi sehingga mampu untuk tidak terpengaruh melakukan tindakan yang tidak seharusnya. Dengan kata lain, dua kata kunci penting yakni komitmen dan karakteristik personal.

Pertama, pentingnya komitmen auditor. Di dalam riset Tsunogaya dkk., komitmen yang ditemukan berperan positif dalam pembangunan dan pemeliharaan sikap auditor dibedakan menjadi dua jenis, yaitu komitmen afektif (affective commitment) dan komitmen normatif (normative commitment). Dua jenis komitmen ini berbeda menurut dasarnya: kemauan atau keharusan. Auditor dikatakan berkomitmen afektif ketika memiliki perasaan untuk tetap berada di dalam pekerjaan/organisasinya demi mencapai tujuan dan sasaran dari pekerjaan/organisasi tersebut. Di sisi lain, komitmen normatif adalah yang mendorong auditor untuk beranggapan bahwa ia harus tetap berada dalam pekerjaan/organisasinya tersebut karena merasa telah menjadi kewajibannya.

Temuan riset membuktikan bahwa komitmen afektif dan komitmen normatif dapat menjadi ‘perisai’ bagi auditor agar terhindar dari pengaruh faktor-faktor eksternal negatif yang dihadapinya. Perasaan telah berkewajiban terhadap profesi (komitmen normatif) menjadi syarat minimum untuk tidak mudah tergerus ke dalam tindakan yang menyimpang. Maka dari itu, dengan memiliki level komitmen tertinggi (komitmen afektif), auditor berada pada posisi paling kebal terhadap tekanan-tekanan negatif. Auditor yang hanya memiliki komitmen pada level terendah (komitmen kelanjutan/continuance commitment) cenderung tidak akan mampu mengatasi tekanan-tekanan negatif yang diterimanya karena motivasinya untuk tetap pada pekerjaan hanya karena merasa tidak memiliki pilihan alternatif lainnya.

Faktor internal kedua yaitu kepribadian. Tsunogaya dkk. berupaya untuk mengidentifikasi tipe kepribadian seperti apa yang dapat memfilter pengaruh negatif yang dihadapi auditor melalui pengujian faktor-faktor budaya nasional. Dari beberapa budaya nasional tersebut, ditemukan bahwa tingkat maskulinitas adalah yang paling berperan dalam pemeliharaan prinsip etis auditor. Seseorang yang maskulin adalah yang termotivasi karena keinginan untuk yang terbaik, bukan sekedar karena menyukai apa yang dikerjakan (Hofstede Insights, 2019). Sementara itu, indeks maskulinitas masyarakat Indonesia adalah sebesar 46 (kurang dari nilai tengah, yaitu 50). Artinya, secara umum, masyarakat Indonesia kurang maskulin jika dibandingkan beberapa negara Asia lain seperti Jepang, Cina, dan India, atau dengan kata lain, di dalam bekerja tetap memperhatikan tujuan terbaik maupun perasaan menikmati. Terlepas dari itu, profesi audit membutuhkan sifat maskulinitas ini pada pribadi auditor sehingga temuan ini tetap perlu menjadi perhatian dari kantor akuntan publik dalam merekrut auditor.

Riset Tsunogaya dkk. telah membuktikan bahwa untuk dapat menangkal pengaruh-pengaruh buruk yang dihadapi, auditor perlu memegang teguh komitmen dan sikap maskulinitas. Dengan keduanya, auditor dapat lebih mempertimbangkan setiap dampak dari perilakunya sehingga akan lebih terhindar dari keputusan yang tidak etis. Hasil riset ini dapat menjadi pertimbangan bagi perusahaan akuntan publik untuk memperoleh auditor yang kebal terhadap perilaku negatif terlepas dari banyaknya tekanan yang dirasakan, baik dari klien, atasan, maupun rekan kerjanya.

Referensi

Hofstede Insights. (2019). Country Comparison: What About Indonesia? Diakses 23 Februari 2019, dari https://www.hofstede-insights.com/country-comparison/indonesia/

Tsunogaya, N., Sugahara, S., & Chand, P. (2017). The Impact of Social Influence Pressures, Commitment, and Personality on Judgments by Auditors: Evidence from Japan. Journal of International Accounting Research, 16(3), 17-34.

   For Further Information, Please Contact Us!