DEBT EQUITY RATIO DALAM PAJAK
18 January 2019
Category: TAX
Penulis:
Sofyan Hadi, S.E., BKP
Sejarahnya, ketentuan DER sebagai basis perhitungan PPh pernah diterapkan di era Menteri Keuangan Radius Prawiro, tepatnya pada pada 8 Oktober 1984 dengan perbandingan utang terhadap modal kala itu ditetapkan 3:1. Dasar hukum penetapan DER sebagai basis perhitungan PPh adalah Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 1002/KMK.04/1984 tentang Penentuan Perbandingan Antara Utang dan Modal Sendiri untuk Keperluan Pengenaan Pajak Penghasilan. Berselang enam bulan, tepatnya pada 8 Maret 1985, Radius Prawiro membekukan ketentuan DER karena dikhawatirkan dapat menghambat perkembangan dunia usaha. Sebagai payung hukumnya, terbit KMK Nomor 254/KMK.04/1985 tentang Penundaan Pelaksanaan KMK Nomor 1002/KMK.04/1984 tentang Penentuan Perbandingan Antara Utang dan Modal Sendiri untuk Keperluan Pengenaan Pajak Penghasilan.
Penundaan berlakunya ketentuan tentang perbandingan antara hutang dengan modal sendiri tersebut tanpa batas waktu. Sampai saat ini (tahun 2015) ketentuan tersebut masih belum diberlakukan kembali. Artinya hingga saat ini Indonesia tidak memiliki aturan mengenai besarnya perbandingan antara hutang dengan modal (debt equity ratio/DER) tersebut. Penundaan berlangsung sekitar 31 tahun atau sampai sekarang, sebelum dihidupkan kembali oleh Menkeu Bambang P.S. Brodjonegoro.Setelah sekian lama wacana dari Pemerintah yang akan membatasi mengenai rasio antara Utang terhadap Modal atau dalam istilah akuntansi dikenal dengan istilah “Debt to Equity Ratio“, akhirnya Pemerintah melalui Menteri Keuangan mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 169/PMK.010/2015 tanggal 9 September 2015 tentang Penentuan Besarnya Perbandingan Antara Utang dan Modal Perusahaan Untuk Keperluan Penghitungan Pajak Penghasilan.
Wajib Pajak Yang Diatur Dalam Ketentuan Ini
Wajib Pajak yang diatur dan wajib mengikuti ketentuan mengenai besarnya perbandingan antara utang dan modal sebagaimana diatur dalam peraturan ini adalah bagi Wajib Pajak badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia yang modalnya terbagi atas saham-saham.
Utang
Utang yang ditentukan dalam Peraturan ini adalah saldo rata-rata utang pada satu tahun pajak atau bagian tahun pajak, yang dihitung berdasarkan:
·Rata-rata saldo utang tiap akhir bulan pada tahun pajak yang bersangkutan; atau
·Rata-rata saldo utang tiap akhir bulan pada bagian tahun pajak yang bersangkutan.
Saldo utang yang dimaksud di atas meliputi saldo utang jangka panjang maupun saldo utang jangka pendek termasuk saldo utang dagang yang dibebani bunga.
Modal
Modal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah saldo rata-rata modal pada satu tahun pajak atau bagian tahun pajak, yang dihitung berdasarkan:
·Rata-rata saldo modal tiap akhir bulan pada tahun pajak yang bersangkutan; atau
·Rata-rata saldo modal tiap akhir bulan pada bagian tahun pajak yang bersangkutan.
Saldo modal ini meliputi ekuitas sebagaimana dimaksud dalam standar akuntansi keuangan yang berlaku dan pinjaman tanpa bunga dari pihak yang memiliki hubungan istimewa.
Besaran Nilai Rasio Utang dan Modal
Besarnya perbandingan antara utang dan modal yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan ini adalah sebesar empat dibanding satu (4:1).
Dikecualikan dari ketentuan untuk memiliki perbandingan utang dan modal ini adalah bagi:
·Wajib Pajak bank;
·Wajib Pajak lembaga pembiayaan;
·Wajib Pajak asuransi dan reasuransi;
·Wajib Pajak di bidang pertambangan migas, umum dan lainnya yang terikat kontrak bagi hasil, kontrak karya atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan yang dalam kontraknya mengatur secara khusus tentang batasan utang dan modal ini;
·Wajib Pajak yang atas seluruh penghasilannya dikenai PPh final; dan
·Wajib Pajak yang menjalankan usaha di bidang infrastruktur.
Wajib Pajak dengan Rasio Utang dan Modal Yang Melebihi
Apabila besarnya rasio antara utang dan modal Wajib Pajak melebihi besarnya perbandingan yang ditetapkan dalam peraturan ini, maka biaya pinjaman yang dapat diperhitungkan dalam menghitung penghasilan kena pajak adalah sebesar biaya pinjaman sesuai dengan besarnya perbandingan yang telah ditetapkan ini.
Biaya pinjaman yang dimaksud ini adalah biaya yang ditanggung Wajib Pajak sehubungan dengan peminjaman dana yang meliputi:
·Bunga pinjaman;
·Diskonto dan premium yang terkait dengan pinjaman;
·Biaya tambahan yang terkait dengan perolehan pinjaman (arrangement of borrowings);
·Beban keuangan dalam sewa pembiayaan;
·Biaya imbalan karena jaminan pengembalian utang; dan
·Selisih kurs yang berasal dari pinjaman dalam mata uang asing.
Besarnya biaya pinjaman sesuai dengan perbandingan utang dan modal juga wajib memperhatikan ketentuan Pasal 6 dan Pasal 9 UU PPh.Jika Wajib Pajak memiliki utang kepada pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa, disamping harus memenuhi ketentuan di atas, juga harus memenuhi prinsip kewajaran dan kelaziman usaha sesuai ketentuan Pasal 18 ayat (3) UU PPh.Dalam hal Wajib Pajak mempunyai saldo ekuitas nol atau kurang dari nol, maka seluruh biaya pinjaman Wajib Pajak bersangkutan tidak dapat diperhitungkan dalam penghitungan penghasilan kena pajak.
Kewajiban Menyampaikan Laporan Utang
Dalam peraturan ini juga diatur mengenai kewajiban bagi Wajib Pajak yang mempunyai utang swasta luar negeri, wajib menyampaikan laporan besarnya utang swasta luar negeri tersebut kepada Direktur Jenderal Pajak.Apabila Wajib Pajak tidak menyampaikan laporan mengenai utang swasta luar negeri ini, maka atas biaya pinjaman yang terutang dari utang swasta luar negeri tersebut tidak dapat dikurangkan untuk menghitung penghasilan kena pajak.Tata cara pelaporan utang swasta luar negeri ini diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
Saat Berlaku Ketentuan Ini
Saat berlakunya ketentuan ini adalah sejak Tahun Pajak 2016.
***