Whistleblower: Pahlawan Atau Pengkhianat?
23 November 2018
Category: INTERNAL AUDIT
Penulis:
Ahmad Safiudin, S.E.
Berbagai kasus fraud yang melibatkan orang internal organisasi telah terjadi di dunia. Salah satunya adalah kasus Enron yang terjadi di Amerika. Dewan Direksi Enron telah melakukan berbagai kecurangan berupa manipulasi akuntansi. Hal tersebut diwujudkan dalam bentuk transaksi off balance sheet dan penetapan kompensasi yang tinggi bagi eksekutif perusahaan. Hal ini berarti bahwa Dewan Direksi Enron telah menyalahgunakan kepercayaan para pemegang sahamnya dan merugikan kepentingan para pemegang sahamnya. Kasus yang melibatkan adanya pelanggaran etika dalam akuntansi ini memicu Sherron Watkins seorang Eksekutif Enron menjadi seorang whitsleblower dan mengungkapkan skandal tersebut. Akibat dari terungkapnya kasus tersebut adalah Enron mengalami kerugian dan kebangkrutan.
Selain Sherron Watkins, ada beberapa tokoh whistleblower lain yang tidak kalah populer. Beberapa diantaranya adalah Cynthia Cooper, seorang akuntan dan mantan Vice President Internal Audit di perusahaan Worldcom yang membongkar skandal keuangan perusahaan worldcom, kemudian Jeffrey Wigan seorang Direksi Riset dan Pengembangan di Brown and Williamson Tobbaco Corporation yang mengungkapkan adanya praktik yang membahayakan publik oleh perusahaan tempatnya bekerja yaitu penambahan zat berbahaya carcinogenic yang dapat memicu kanker kedalam ramuan rokok.
Dari beberapa pengalaman kasus tersebut, dapat diidentifikasi adanya dua kondisi yang berseberangan dalam hal respon organisasional maupun respon publik terhadap sepak terjang para whistleblower. Sebagian pihak merespon secara negatif dalam bentuk resistensi, penolakan, sanggahan, perlawanan, tuntutan balik maupun ancaman dan teror kepada whistleblower dan keluarganya. Namun tak sedikit pihak yang memberikan respon positif kepada whistleblower dalam berbagai bentuk seperti misalnya pemberian dukungan, apresiasi maupun penghargaan kepada whistleblower.
Bagaimana dengan pengalaman whistleblowing di Indonesia?
Dari berbagai sumber informasi, kita mengetahui beberapa kisah dilematis yang dialami para whistleblower ketika membongkar berbagai kasus di Indonesia. Salah satu diantaranya adalah yang dialami Khairiansyah Salman, mantan auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK RI) yang melaporkan upaya suap oleh salah satu komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) kepada dirinya dan tim. Khairiansyah merupakan pionir dalam penggunaan istilah whistleblower di Indonesia. Beberapa tokoh lainnya diantaranya adalah Vicentius Amin Sutanto sebagai pembongkar kasus penggelapan pajak Asian Agri Group, Yohanes Waworuntu tokoh yang mengungkapkan skandal pengadaan Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Agus Tjondro dalam kasus suap kepada sejumlah anggota DPR dalam pemilihan Deputi Senior Gubernur BI. Murdiyanto, seorang guru PNS yang saat ini menjadi kepala SMP negeri di Sukoharjo yang melaporkan pungutan liar tunjangan sertifikasi guru di Sukoharjo. Selain nama-nama tersebut, masih banyak contoh tokoh lainnya seperti Muchasonah guru agama di Jember, Amborowatiningsih mantan petugas museum di Solo, Sukotjo pembongkar skandal korupsi di tubuh Polri, Heru Sukrisno, seorang tentara-auditor yang mengungkap berbagai korupsi di tubuh TNI AD, Erwinus Laia seorang PNS pengungkap kasus korupsi di kabupaten Nias selatan, sumatera utara (Tempo, 23-29 Desember 2013: 29-85) serta sederet tokoh lainnya yang kisahnya tidak menjadi pemberitaan hangat di berbagai media masa dan tidak diketahui publik secara luas.
Kasus terkini yang masih segar dalam ingatan kita dan menyedot perhatian publik beberapa saat yang lalu adalah kasus yang dialami mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said. Sudirman Said mengungkapan fakta kepada Majelis Kehormatan DPR (MKD) tentang adanya dugaan tindakan tidak etis oleh seorang ketua DPR bersama seorang pengusaha besar. Mereka diduga melakukan pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden untuk minta jatah pembagian saham dari PT Freeport. Kasus ini terbongkar melalui rekaman pembicaraan para pelaku dengan Direktur PT Freeport Indonesia. Sayangnya, dari berbagai kasus yang pernah terjadi di Indonesia, tidak sedikit para whistleblower mengalami kondisi dilematis dan ironis. Penyelesaian sebagian kasus tersebut tidak terurai dengan tuntas, justru menyisakan banyak teka-teki.
Dilematika Whistleblowing
Belajar dari berbagai kasus whistleblowing yang pernah terjadi khususnya dari para birokrat (dari mulai petugas honorer museum, guru, pegawai kecil kementerian dan sebagainya) yang menjadi peniup peluit (whistleblower) semakin menegaskan bahwa kontribusi dan peran serta birokrat dalam menciptakan birokrasi yang bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) adalah sebuah keniscayaan. Peran serta para whistleblower dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi sangat dibutuhkan mengingat korupsi adalah kejahatan terorganisir dan bersifat tertutup. Oleh karena itu, memberantas korupsi tanpa melibatkan “orang dalam” (insider) sebagai informan atau pemberi petunjuk awal (tip/clue) adalah pekerjaan yang cukup berat.
Pengungkapan awal adanya indikasi korupsi memerlukan petunjuk (clue/tip) dari orang dalam (insider) karena pada umumnya tindakan korupsi atau kecurangan lain dilakukan sangat terorganisir. Association of Certified Fraud Examiner (ACFE) melakukan survey secara rutin setiap dua tahunan dengan menginvestigasi 1.483 kasus fraud di seluruh dunia pada tahun 2014. Hasilnya menunjukan bahwa deteksi awal adanya tindakan korupsi dan kecurangan lain pertama kali ditemukan karena adanya petunjuk awal (tip/clue) dari orang dalam yaitu sebesar 43,3%. Dari pentunjuk awal (tip/clue) tersebut sebesar 49% dilakukan oleh pegawai sendiri (ACFE, 2014).
Bagaimana realitanya?
Sangat disayangkan, pada kenyataannya kondisi dilematis dan ironis hingga kini masih saja dialami oleh orang-orang yang memiliki komitmen dan integritas tinggi yang berani bersuara (voice) membongkar praktik busuk yang terjadi di internal organisasi tempatnya bekerja. Kondisi dilematis yang dialami oleh para whistleblower merupakan konsekuensi logis dari tindakan whistleblowing. Whistleblowing sebagai salah satu tindakan yang mungkin terjadi di dalam sebuah organisasi memiliki setidaknya dua kelompok respon atau tanggapan yang saling bertentangan (dikotomis) dan memposisikan whistleblower pada kondisi yang dilematis (diantaranya dinyatakan oleh: Keenan, 1990; Lindblom, 2007; Teo dan Caspersz, 2011).
Temuan beberapa riset sebelumnya mengindikasikan adanya dua kelompok respon organisasional maupun respon publik terhadap peran whistleblower yang ditemukan para peneliti terdahulu. Secara umum, ada dua kubu temuan yang saling berseberangan terkait dengan respon organisasional maupun respon publik terhadap sepak terjang seorang whistleblower. Di kubu pertama, beberapa peneliti menemukan adanya respon dan penilaian positif terhadap tindakan seorang whistleblower dengan menganggap mereka sebagai seorang pahlawan (heroes) (diantaranya dikemukakan oleh Dozier dan Miceli,1985; Hers, 2002; Vandekerckhove dan Tsahuridu, 2010). Sebaliknya, di kubu yang berseberangan menganggap whistleblower yang notabene orang dalam dinilai sebagai orang yang “melawan arus”, mengkhianati rekan kerja (kolega) dan organisasi tempatnya bekerja. Seorang whistleblower yang melaporkan keburukan, kecurangan atau persoalan internal organisasi kepada pihak di luar organisasi adalah seorang pengkhianat (traitors) bagi organisasi (Vinten,1994; Hers, 2002).