Articles

Read the articles about accounting,internal audit, tax, human resource,information and technology.

FUNGSI REKONSILIASI FISKAL DALAM PELAPORAN PAJAK

22 September 2018
Category: TAX
Penulis:         Dina Sari Simbolon, S.E.
FUNGSI REKONSILIASI FISKAL DALAM PELAPORAN PAJAK

Kewajiban pelaporan pajak diakhir tahun untuk Wajib Pajak badan tinggal beberapa bulan lagi. Wajib pajak badan dari berbagai bentuk diantaranya Perseroan Terbatas (PT), Perusahaan Dagang (PD), atau Persekutuan Komanditer (CV) berkewajiban menyampaikan SPT tahunan badan disertakan dengan laporan keuangan dan posisi keuangan pada periode tertentu. Perusahaan-perusahaan ini dalam prakteknya tentu melakukan proses pembukuan dan pada akhirnya akan menghasilkan sebuah laporan keuangan berupa Neraca dan Laporan Laba Rugi.

Penyusunan Laporan Keuangan sudah diatur dalam bentuk Standar Akuntansi Keuangan yang penggunaannya terutama dimaksudkan agar kualitas laporan keuangan bisa dipertanggungjawabkan sehingga bisa menjadi sarana mengkomunikasikan apa yang telah dilakukan manajemen perusahaan kepada pihak investor atau kreditor. Pihak lain yang sebenarnya berkepentingan terhadap Laporan Keuangan Perusahaan adalah Pemerintah.

SEJAUH MANA KEPENTINGAN PEMERINTAH TERHADAP LAPORAN KEUANGAN PERUSAHAAN

Mengapa Pemerintah berkepentingan terhadap Laporan Keuangan Perusahaan? karena pemerintah memiliki hak terhadap Pajak Penghasilan sebagaimana diatur dalam Undang-undang. Ada titik persamaan antara investor, kreditor dan pemerintah. Titik persamaan tersebut terletak kepada bahwa mereka sama-sama berkepentingan terhadap Laba Perusahaan:

    1.Investor melihat laba sebagai suatu bentuk hasil dari investasinya di perusahaan.

    2.Kreditor berkepentingan terhadap pinjaman yang diberikan kepada perusahaan. Tingkat laba bisa memberikan petunjuk atas kemampuan perusahaan untuk mengembalikan pokok pinjaman dan bunganya.

    3.Pemerintah tentu saja berkepentingan terhadap Laba Perusahaan karena Pajak Penghasilan dihitung berdasarkan Laba perusahaan. Laba yang besar mengakibatkan Pajak penghasilan yang ditarik semakin besar pula dan begitu juga sebaliknya.

    Namun demikian, jika investor dan kreditor bisa secara langsung menggunakan Laporan Laba Rugi yang disusun berdasarkan standar akuntansi, tetapi tidak dengan pemerintah, pemerintah tidak bisa menggunakan secara langsung Laba dalam Laporan Keuangan sebagai dasar pengenaan pajak. Mengapa demikian? Karena laba dalam pengertian Pajak Penghasilan adalah Laba yang berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang Pajak Penghasilan serta peraturan pelaksanaannya. Laba yang demikian biasanya disebut dengan Laba Fiskal, sedangkan laba yang berdasarkan Laporan Laba Rugi biasa disebut dengan Laba Komersial. Kalau begitu, apakah perusahaan harus melakukan pembukuan ganda? jawabannya tentu tidak dan memang sangat tidak boleh melakukan pembukuan ganda.

    Pembukuan yang diselenggarakan oleh perusahaan harus tetap satu yang nantinya akan menghasilkan laporan laba rugi komersial. Nah dari laporan laba rugi komersial tersebut akan disesuaikan dengan Ketentuan Pajak Penghasilan dan proses penyesuaian inilah yang dinamakan Rekonsiliasi Fiskal.

    PENGERTIAN REKONSILIASI FISKAL

Rekonsiliasi fiskal atau koreksi fiskal adalah salah satu cara untuk mencocokkan perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam laporan keuangan komersial (disusun berdasarkan Sistem Keuangan Akuntansi) dengan laporan keuangan yang disusun berdasarkan sistem fiskal.

Rekonsiliasi fiskal merupakan lampiran SPT tahunan PPh badan yang berupa kertas kerja berisi penyesuaian antara laba rugi komersial sebelum pajak dengan laba rugi berdasarkan ketentuan perpajakan. Rekonsiliasi fiskal dilakukan terhadap seluruh unsur penyusunan laporan laba rugi yang meliputi pendapatan dan beban. Penghasilan dapat berupa penghasilan usaha maupun penghasilan dari luar usaha. Begitu pula dengan biaya, ada biaya-biaya untuk melakukan usaha dan ada juga biaya-biaya di luar usaha. Dalam konteks pajak Penghasilan, unsur dalam perhitungan laba fiskal juga terdiri dari penghasilan dan biaya.

Terdapat 2 jenis koreksi fiskal berdasarkan perbedaannya secara komersial dan fiskal, yaitu:

1.Beda Tetap

Rekonsiliasi fiskal beda tetap terjadi ketika terdapat transaksi yang diakui oleh wajib pajak sebagai penghasilan atau biaya yang sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan, namun menurut ketentuan perpajakan transaksi tersebut bukanlah penghasilan atau biaya.

Beda tetap merupakan perbedaan antara laba kena pajak dan laba akuntansi sebelum pajak yang timbul akibat transaksi yang menurut UU perpajakan tidak akan terhapus dengan sendirinya pada periode lain.

2.Beda Waktu

Rekonsiliasi fiskal beda waktu terjadi karena adanya perbedaan waktu secara sistem akuntansi dengan sistem perpajakan. Jadi dalam hal ini transaksi menurut akuntansi komersial dan pajak sama, namun yang membedakan adalah waktu alokasi biaya.

FUNGSI REKONSILIASI FISKAL

Berdasarkan pengertian rekonsiliasi fiskal diatas, dapat disimpulkan bahwa rekonsiliasi fiskal/koreksi fiskal memiliki fungsi sebagai penyesuaian transaksi menurut Sistem Akuntansi Keuangan dan menurut ketentuan fiskal/pajak (UU Perpajakan) yang berlaku.

Rekonsiliasi fiskal perlu dilakukan agar sebelum data laporan keuangan komersial dimasukkan ke dalam SPT tahunan PPh, maka data-data tersebut telah disesuaikan dengan ketentuan fiskal, mengingat terdapat perbedaan besar diantara keduanya baik beda waktu maupun beda tetap.

Jadi rekonsiliasi fiskal yang dilakukan akan menghasilkan output berupa hasil koreksi yang berpengaruh besar terhadap besarnya laba kena pajak dan PPh terutang.

Adapun langkah-langkah yang perlu ditempuh untuk melakukan rekonsiliasi fiskal, antara lain:

1.Mengenal terlebih dahulu penyesuaian fiskal yang diperlukan.

2.Menganalisa elemen-elemen penyesuaian guna menentukan pengaruhnya terhadap laba usaha kena pajak.

3.Menyesuaikan atau mengoreksi fiskal dengan melakukan koreksi fiskal positif dan negatif.

4.Menyusun laporan keuangan secara fiskal sebagai lampiran SPT tahunan pajak penghasilan.

Beberapa penyebab utama perbedaan laba komersial dan laba fiskal yang banyak ditemui di lapangan adalah sebagai berikut:

a.Adanya penghasilan yang bukan objek pajak (non taxable income).

b.Adanya penghasilan yang dikenakan PPh Final sehingga tidak perlu lagi dihitung dalam SPT Tahunan.

c.Adanya biaya-biaya yang menurut ketentuan fiskal tidak boleh dikurangkan (non deductible expenses) yang biasa disebut koreksi Fiskal Positif.

Sesuai dengan UU PPh no 17 tahun 2000 pasal 9 (1), biaya-biaya yang tidak boleh dikurangkan adalah sebagai berikut:

1.Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun.

2.Biaya yang dibebankan / dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu atau anggota.

3.Pembentukan atau pemupukan dana cadangan dengan pengecualian untuk Bank dan lembaga keuangan non Bank tertentu, usaha pertambangan.

4.Premi asuransi kesehatan, kecelakaan jiwa, dwiguna dan bea siswa yang dibayar oleh WP orang pribadi dengan pengecualian apabila dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi WP.

5.Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan/ jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.

6.Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan.

7.Harta yang dihibahkan, bantuan dan sumbangan serta warisan kecuali sumbangan untuk tempat – tempat ibadah dan bantuan bencana alam.

8.Pajak penghasilan.

9.Biaya yang dibebankan/ dikeluarkan untuk kepentingan pribadi WP/ orang yang menjadi tanggungannya.

10.Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma atau persekutuan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham.

11.Sanksi administrasi yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan.

12.Ps.6(1) huruf F atas biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di luar Indonesia.

13.Ps. 6(1) huruf h atas piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih yang tidak memenuhi syarat:

a. Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;

b. WP harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada DitjenPajak;

c. Telah diserahkan perkara penagihannya kepada pengadilan negeri atau Instansi pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/ pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; atau Telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus.

*Syarat no. c tidak berlaku bagi piutang debitur kecil yang dihapuskan.

14.Ps. 9 (2) pengeluaran untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 tahun yang dibebankan sekaligus.

15.Pasal 10 (1-2) harga/ nilai perolehan atau harga/ nilai penjualan yang dipengaruhi hubungan istimewa.

16.PP 138 tahun 2000 ps.3 Pajak masukan yang tidak dapat dikreditkan sesuai ps. 9 (8) huruf f dan g UU no 18 tahun 2000 sepanjang tidak dapat dibuktikan benar telah dibayar.

17.PP 138 tahun 2000 ps 4 Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan sebagai berikut:

a. Yang bukan obyek pajak;

b.Yang pengenaan pajaknya bersifat final;

c. Yang dikenakan pajak berdasarkan norma penghitungan penghasilan netto dan norma penghitungan khusus.

18.PP 138 tahun 2000 ps. 5 Tidak dicatat sebagai penghasilan perusahaan selisih lebih antara harga pasar dengan nilai sisa buku harta yang dialihkan kepada pegawainya.

19.PP 138 tahun 2000 ps. 6 laba bruto usaha WP yang berusaha di bidang jasa konstruksi yang proses pekerjaan fisiknya meliputi masa beberapa tahun pajak tidak dihitung berdasarkan metode prosentase tingkat penyelesaian pekerjaan.

20.SE Dirjen Pajak no 27/PJ.22/1986 Biaya Entertainment/ jamuan dan sejenisnya sepanjang tidak ada hubungannya dengan kegiatan usaha WP dan tidak dibuatkan daftar nominatif dan dilampirkan pada SPT Tahunan PPh.

21.SE Dirjen Pajak no 20/PJ.42/1994 bunga pinjaman selama masa konstruksi suatu asset yang tidak dikapitalisir menjadi komponen harga pokok atau harga perolehan asset yang bersangkutan.

22.SE Dirjen Pajak no 46/PJ.4 / 1995 Bunga pinjaman, yaitu:

a. Bunga pinjaman seluruhnya apabila rata-rata pinjaman sama besar/ lebih kecil dibanding rata – rata deposito / tabungan

b. Bunga pinjaman sebagian apabila rata-rata pinjaman lebih besar dibanding rata-rata deposito/ tabungan.

23.Kep. Dirjen Pajak no KEP 220 / PJ/2002, yaitu:

a. 50 % dari biaya pemakaian telepon selular yang meliputi beban penyusutan, biaya berlangganan, pengisian ulang pulsa dan perbaikan;

b. 50 % dari biaya pemakaian kendaraan sedan yang meliputi beban penyusutan & biaya pemeliharaan/ perbaikan rutin;

c.Adanya perbedaan waktu pengakuan biaya seperti biaya penyusutan dan amortisasi.

Dari uraian di atas diharapkan Perusahaan-perusahaan dapat memahami mengapa perlu adanya rekonsiliasi fiskal dan lebih memperhatikan terhadap penghasilan dan biaya-biaya yang akan disajikan dalam laporan Keuangan guna menghasilkan Laporan Keuangan yang sesuai dengan standar akuntansi dan dapat dipertanggungjawabkan atas pajak penghasilannya.

    ***

   For Further Information, Please Contact Us!