Model Pencatatan Intellectual Capital
13 June 2018
Category: MANAGEMENT SYSTEM
Penulis:
Nathania Angela Lomban, S.E.
Di Indonesia, intellectual capital mulai berkembang setelah munculnya PSAK No.19 (revisi 2000), tentang aktiva tidak berwujud. Meskipun tidak dijelaskan secara spesifik sebagai intellectual capital, namun menurut PSAK No. 19, aktiva tidak berwujud adalah aktiva non moneter yang dapat diidentifikasi dan tidak mempunyai wujud fisik serta dimiliki untuk digunakan dalam menghasilkan atau menyerahkan barang atau jasa, disewakan kepada pihak lainnya, atau untuk tujuan administratif. Namun, sampai dengan saat ini penerapan intellectual capital di Indonesia masih tergolong kurang.
Pengeluaran investasi nonfisik yang mencakup Intellectual property sejauh ini masih belum dapat ditangkap oleh sistem akuntansi double entry yang sudah sangat lama digunakan. Pengeluaran untuk investasi nonfisik masih dicatat sebagai biaya, bukan dilaporkan sebagai asset atau sumber daya perusahan yang nantinya akan mendatangkan “future economic benefit”.
Akuntansi tradisional hanya memberikan informasi yang bersifat backward looking information sehingga untuk memprediksi manfaat masa depan (forward looking information), akuntansi tradisional kehilangan nilai gunanya dan dapat memberikan informasi secara fair value.
Konsep pengukuran Intellectual Capital oleh para peneliti terbagi menjadi dua, yaitu pengukuran monetery dan non-monetery. Banyak peneliti internasional percaya bahwa mungkin untuk menyusun sistem informasi yang memungkinkan mengkuantifikasikan intellectual capital dalam ukuran monoter di neraca tetapi yang menjadi masalah bagaimana interpretasi angka tersebut. Terdapat dua model pengungkapan intellectual capital, yaitu pengungkapan berdasarkan kunci sukses perusahaan melalui strategi manajemen dalam memenangkan pertarungan bisnis. Sebagai contoh, dari kunci sukses adalah balance score card dari Kaplan dan Norton. Model lain yang disarankan untuk pengungkapan intellectual capital adalah model input output yang dikembangkan Baruch Lev: Investasi yang menciptakan intangible assets adalah investasi dalam: Penelitian dan Pengembangan (Research & Development); Teknologi Informasi; Pelatihan karyawan; Perekrutan Karyawan.
Masing-masing investasi tersebut, proses penciptaan intangible assets adalah melalui tiga tahap fundamental proses inovasi. Pertama, pencarian/pembelajaran, produk baru (obat-obatan, software, consumer electronics), pemrosesan (internet based supply atau channel distribution), dan pelayanan yang dikembangkan. Kedua, implementasi: Tahap pelayanan teknologi dari produk dan jasa, seperti obat-obatan. Pada tahap ini biasanya mulai diajukan perlindungan hukum untuk paten, cap dagang, dan kekayaan intellectual lainnya. Ketiga, komersialisasi: kekayaan teknologi telah mencapai tahap keberhasilan ekonomi untuk dipasarkan. Pada tahap ini, cost dari pengembalian investasi dari arus kas masuk mulai dinikmati dari proses inovasi. Keempat, tiap investasi intangible assets, terutama penciptaan nilai sampai tahap pengembalian cost of capital memerlukan waktu (time lag) yang berbeda-beda
Proses itu hampir mempunyai kesamaan bahwa tiap investasi intangible assets mempunyai tiga tahap sebelum menghasilkan arus kas, yaitu tahap pencarian/pembelajaran, tahap implementasi, dan komersil. Karena sifatnya yang umum, pengungkapan intellectual capital/intangible assets secara standardisasi dengan model input output dari investasi.
Fenomena ekonomi baru dengan pengetahuan sebagai sumber daya utama adalah hal yang mendesak untuk dilaporkan. Perubahan itu ditandai dengan pola investasi yang tinggi pada Research & Development, teknologi informasi, pelatihan karyawan, investasi tersebut mendongkrak nilai kapitalisasi saham dari nilai bukunya, selisih nilai buku dan nilai kapitalisasi menunjukkan adanya missing value, dampaknya akan menimbulkan adanya asimetri informasi laporan keuangan sehingga mengakibatkan: alokasi yang salah dari investasi tingginya rata-rata cost of capital bagi perusahaan berbasis pengetahuan, tidak terdukungnya pasar modal yang efisien karena mungkin terjadinya insider trading dan biaya informasi yang tinggi. Tuntutan pelaporan intellectual capital ditanggapi dengan tiga usulan. Pertama, untuk membuat akuntansi dengan paradigma baru, CICA mengusulkan untuk menggunakan paradigma Total Value Creation (TVC). Kedua, diperkenalkan pengukuran baru pada akuntansi keuangan yang tidak terpusat pada pengukuran moneter. Ketiga, memasukkan intellectual capital dalam intangible assets. Dari ketiga usulan tersebut, ternyata membuat pengukuran baru yang tidak bersifat moneter tanggapan yang cukup banyak. Pengukuran dengan nilai moneter juga akan mengakibatkan subjektifitas sehingga dapat menimbulkan manipulasi laba. Hal itu didasari dengan pandangan reliability dan adanya unsur ketidakpastian.
Semakin kompetitifnya persaingan dalam dunia bisnis, mengharuskan perusahaan untuk dapat memiliki keunggulan kompetitif yang berkesinambungan melalui pengelolaan sumber daya manusia. Keunggulan bersaing dapat diwujudkan dengan adanya intellectual capital, melalui human capital, structural capital, customer capital, komitmen, dan kompetensi.