Penggunaan Hibryd Contract Di Era Modern
19 March 2018
Category: AUDIT
Penulis:
Luluk Farida, S.E.
Dampak dari tingginya permintaan pasar mendorong kebutuhan atau keragaman transaksi yang berakibat pula meningkatkan kompleksitas transaksi yang harus disediakan oleh lembaga keuangan syariah sehingga produk tunggal tidak lagi mampu memenuhi permintaan pasar dan memenuhi kebutuhan masyarakat dalam rangka melakukan transaksi keuangan. Dilain pihak ketentuan dalam ekonomi islam terkait segala transaksi harus senantiasa dilakukan sesuai dengan aturan yang tertera pada hukum syariah.
Dengan kompleksitas transaksi ini mendorong lembaga keuangan syariah untuk mengembangkan model Hibryd Contract untuk memenuhi kebutuhan masyarakat modern yang beranekaragam. Dengan model Hibryd Contract lembaga keuangan syariah mampu mengkombinasikan beberapa akad menjadi satu akad untuk mempermudah melakukan transaksi yang dibutuhkan oleh masyarakat. Beberapa produk lembaga keuangan syariah yang sedang dikembangkan saat ini ternyata mengandung beberapa akad didalamnya yang saat ini dinamakan multi akad. Transaksi multi akad tersebut menggunakan pengikat agar bisa berjalan yang kini disebut wa’ad. Fatwa DSN-MUI No.85/DSN-MUI/XII/2012 mengartikan Wa’ad adalah kehendak dari satu pihak untuk melakukan sesuatu yang baik pada pihak lain dimasa yang akan dating. Contoh beberapa multi akad pada produk lembaga keuangan syariah yang menggunakan Wa’ad adalah:
1.Kartu Kredit Syariah mengandung akad: Ijarah, Qard, dan Kafalah
2.Obligasi Syariah mengandung akad: Mudharabah atau Ijarah dan Wakalah. Beberapa ada yang disertai akad Kafalah atau Wa’ad
3.Islamic Swap mengandung akad: Tawarruq, Bai’, Wakalah, Sharf dan beberapa ada yang disertai dengan Wa’ad
4.Murabahah dengan pesanan
5.Musyarakah Mutanaqishah mengandung akad Ijarah dan Musyarakah/ Syirkah disertai Wa’ad,
6.Ijarah Muntahiya Bittamlik mengandung akad Ijarah dan Jual beli atau hibah dengan menggunakan Wa’ad dan seterusnya.
Sebagian besar dari contoh transaksi multi akad yang disebutkan diatas ternyata penggunaan akad Wa’ad dalam bertransaksi sangatlah mendominasi. Hal ini membuktikan bahwa dalam transaksi multi akad keberadaan Wa’ad sangat penting agar transaksi yang dilakukan bisa berjalan sesuai dengan ketentuan yang mengaturnya. Dalam transaksi multi akad, sering kali meyertakan Wa’ad didalamnya agar transaksi yang dilakukan bisa sempurna dan berjalan sesuai kesepakatan yang disepakati. Beberapa contoh transaksi multi akad yang menggunakan Wa’ad adalah Murabahah dengan pesanan, Musyarakah Mutanaqishah dan Ijarah Muntahiya Bittamlik. PSAK 102 (Revisi 2013) tentang Murabahah menjelaskan bahwa Murabahah adalah akad jual beli barang dengan harga jual sebesar biaya perolehan ditambah keuntungan yang disepakati dan penjual harus mengungkapkan biaya perolehan tersebut kepada pembeli.Dalam praktiknya akad Murabahah telah diatur pada ketentuan kedua Fatwa DSN-MUI No. 04/DSN-MUI/IV/2000 yang berbunyi, “Nasabah mengajukan permohonan dan janji pembelian suatu barang atau aset kepada bank”. Perbedaan antara Murabahah biasa dan Murabahah dengan pesanan terletak pada janji yang disepakati. Janji yang terdapat dalam akad Murabahah dengan pesanan adalah wa’ad yang dapat diartikan bahwa janji ini harus ditaati oleh lembaga keuangan syariah yang menyediakan barang untuk menyiapkan barang dan menjualnya serta nasabah yang harus membeli barang yang telah disediakan. Jika dalam Murabahah biasa, tidak ada janji nasabah harus membeli barang yang telah disediakan oleh lembaga keuangan syariah.
Penggunaan wa’ad pada akad Musyarakah Mutanaqishah memiliki kesamaan sebagaimana akad Murabahah. Dalam Fatwa DSN-MUI No. 73/DSN-MUI/XI/2008 Musyarakah Mutanaqishah diartikan sebagai musyarakah dengan menggunakan sistem pengurangan porsi kepemilikan dari salah satu mitra kepada mitra yang lainnya akibat pembelian porsi syarik (mitra) secara bertahap. Selama masa akad berlangsung, salah satu syarik memanfaatkan obyek barang sehingga terdapat akad ijarah didalamnya. Pihak yang memanfaatkan barang ini harus membayar ujrah dan bagian pendapatan dari sewa milik syarik yang memanfaatkan barang digunakan untuk membeli porsi kepemilikan syarik lainnya. Oleh karena itu, saat akad berakhir salah satu pihak yang membeli porsi kepemilikan pihak yang lain akan memiliki kepemilikan obyek akad secara sempurna. Untuk pengalihan kepemilikan ini, salah satu mitra harus berjanji untuk menjual obyek sewa dan mitra yang lain harus berjanji untuk membelinya. Janji pemindahan kepemilikan inilah yang dinamakan Wa’ad.Syarat dari pelaksanaan akad syirkah tersebut yaitu:
1)Masing - masingpihakharusmenunjukkankesepakatandan kerelaan untuk saling bekerjasama
2)Antarpihakharus salingmemeberikanrasapercayadenganyang lain
3)Akad musyarakah mutanaqishah dapat di Ijarah kan kepada syarik atau pihak lain
4)Harus sesuai dengan Ujrah yang disepakati antara kedua pihak
5)Keuntungan dari hasil Ijarah harus dibagikan sesuai nisbah yang disepakati
6)Ukuran pengurang kepemilikan dari hasil sewa harus dijelaskan dan dipahami oleh kedua pihak
7)Biaya perolehan menjadai beban bersama sedangkan biaya peralihan kepemilikan menjadi tanggungan pembeli
Yang harus dilakukan pertama dalam akad Musyarakah Mutanaqisha yaitu A dan B melakukan syirkah, contoh kasus adalah pembelian sebuah rumah. Lalu pihak A ingin membeli porsi kepemilikan pihak B melalui akad murabahah. Jika opsi pemindahan kepemilikan menggunakan murabahah, maka margin yang diterima dari penjualan obyek kepada A akan dibagi sesuai porsi atau perjanjian ketika Syirkah disepakati. Begitu pula jika menggunakan akad lain yaitu Ijarah Muntahiya Bittamlik, maka pendapatan sewa dari IMBT akan dibagi bersama sesuai perjanjian.
Sumber :
Dewan Syariah Nasional MUI. 2008. Fatwa Dewan Syariah Nasional Tentang Musyarakah Mutanaqishah. Jakarta: MUI
Dewan Syariah Nasional MUI. 2012. Fatwa Dewan Syariah Nasional Tentang Wa’ad. Jakarta: MUI
PSAK 102 (Revisi 2013) tentang Murabahah
Fatwa DSN-MUI No. 73/DSN-MUI/XI/2008 Tentang Musyarakah Mutanaqishah
Fatwa DSN-MUI No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah