PPH FINAL 1% ATAU PPH 25%
18 November 2016
Category: TAX
Penulis:
Dina Sari Simbolon, S.E
Sebagian pelaku bisnis yang ada di Indonesia cukup lega ketika mendengar adanya peraturan Pajak dengan tarif 1%, maka yang akan terbesit dibenak mereka adalah angka yang cukup kecil untuk ditebus kepada Negara. Kita mengetahui bahwa tidak semua pelaku bisnis terlebih pemegang saham atau pun owner memiliki pengetahuan yang cukup terhadap perlakuan Pajak yang terkait dengan bisnisnya tersebut, bahkan bagi para pelaku bisinis yang pengetahuannya masih awam menganggap bahwa berarti pajak yang harus dibayar hanya 1% saja dan tidak ada lagi pajak-pajak yang lainnya yang harus dibayarkan. Dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tanggal 12 Juni 2013 banyak menjadi pertanyaan bagi para pelaku bisnis dan bahkan cukup membingungkan bagi mereka karena merupakan pengalihan pembayaran dari PPh pasal 25 beralih ke PP 46 yang bersifat final. Sebenarnya inti dari Pengenaan PPh Final 1% adalah merupakan kesederhanaan dalam menghitung, melapor dan membayar pajak. Menghitungnya sangat mudah tinggal menghitung 1 % dari omset, pembayarannya juga gampang tinggal ke ATM dan pelaporannya wajib mengisi SPT Tahunan pada akhir tahun.
Hal Yang Harus Dipahami Dari PP 46
1. Siapa Yang dikenakan PPh Final , semua wajib pajak baik perorangan maupun badan kecuali BUT yang peredaran brutonya dibawah 4,8 M dalam satu tahun fiskal, dan tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas.
2. Bagaimana kita menentukan Peredaran Bruto, semua pendapatan termasuk pendapatan perusahaan cabang (kalau ada), namun tidak termasuk pendapatan yang sudah dikenakan PPh Final dan pendapatan yang berupa jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas.
3. Siapa Yang Tidak Dikenakan PPh Final, adalah wajib pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan atau jasa yang di dalam usahanya :
- Menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik yang menetap maupun tidak menetap
- Menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan
4. Berapa besarnya tarif PPh Final yang dikenakan, adalah 1 %
5. Bagaimana Cara menghitunganya, dari peredaran bruto setiap bulannya dan PPh finalnya adalah dengan cara mengalikan DPP dengan 1 %. DPP nya adalah peredaran bruto
6. Bagaimana Pajak yang terutang dan dibayar di luar negeri, pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau diperoleh wajib pajak tetap dapat dikreditkan berdasarkan ketentuan Undang-Undang PPh dan peraturan pelaksanaannya
7. Apakah bisa melakukan kompensasi kerugian, WP yang dikenai PPh Final dan menyelenggarakan pembukuan, dapat melakukan kompensasi kerugian (Lost Carry Forward) dengan penghasilan yang tidak dikenakan PPh Final dengan ketentuan:
- Kompensasi kerugian dilakukan mulai tahun fiskal berikutnya berturut-turut sam pai dengan 5 tahun fiskal
- Tahun fiskal dikenakannya PPh Final ini tetap diperhitungkan sebagai bagian dari jangka waktu 5 tahun
- Kerugian pada suatu tahun fiskal dikenakannya PPh final tidak dapat dikompensasikan pada tahun fiskal berikutnya.
Permasalahan Yang Timbul Dengan Terbitnya PP 46
Sebenarnya dalam peraturan PP 46 tahun 2013 ini sangat penting untuk diketahui oleh pelaku bisnis WP OP maupun WP Badan, mengingat jumlah wajib pajak jenis UKM (berpenghasilan tidak melebihi 4,8 Miliar) terhitung masih mayoritas di Negara kita, tetapi pada awalnya sudah banyak penolakan khususnya bagi UKM karena dianggap memberatkan dan cukup membingungkan. Yang menjadi permasalahan adalah bahwa PP 46 ini diberlakukan di tengah-tengah tahun fiskal ( 1 Juli 2013 ), sementara untuk batasan “peredaran bruto tidak melebihi 4,8 Miliar” yang digunakan adalah total peredaran selama satu tahun fiskal (12 bulan). Hal inilah yang membuat wajib pajak bingung belum lagi apabila peredaran brutonya dalam kondisi melebihi 4,8 miliar di pertengahan tahun. Untuk menjawab permasalahan ini dapat kita lihat dari penjelasan PP 46 pasal 10 sebagai berikut :
Hal khusus terkait peredaran bruto sebagai dasar untuk dapat dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini, diatur sebagai berikut:
1. Didasarkan pada jumlah peredaran bruto Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak berlakunya Peraturan Pemerintah ini yang disetahunkan, dalam hal Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak berlakunya Peraturan Pemerintah ini meliputi kurang dari jangka waktu 12 (dua belas) bulan;
2. Didasarkan pada jumlah peredaran bruto dari bulan saat Wajib Pajak terdaftar sampai dengan bulan sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini yang disetahunkan, dalam hal Wajib Pajak terdaftar pada Tahun Pajak yang sama dengan Tahun Pajak saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini di bulan sebelum Peraturan Permerintah ini berlaku;
3. Didasarkan pada jumlah peredaran bruto pada bulan pertama diperolehnya penghasilan dari usaha yang disetahunkan, dalam hal Wajib Pajak yang baru terdaftar sebagai Wajib Pajak sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini.
Kapan Kita Memilih PPh Final 1% atau PPh pasal 25 sebesar 25%
Dari penjelasan yang sudah dipaparkan di atas tentunya kita sudah dapat mengetahui jawabannya, bahwa kondisi antara PPh Final 1 % atau PPh pasal 25 adalah bukan merupakan suatu kebijakan atau peraturan pemerintah yang harus kita pilih sesuka/kehendak hati kita mana yang lebih menguntungkan bagi kita atau mana yang lebih kecil pengenaan pajaknya melainkan merupakan suatu kebijakan atau aturan yang harus kita patuhi satu diantaranya yaitu apakah kita pada kondisi harus membayar PPh 1 % atau kondisi kita tetap melakukan angsuran pajak (PPh pasal 25). Memang pada kondisi real nya banyak para pengusaha khususnya UKM mengeluh ketika mereka harus membayar PPh Final 1% ternyata lebih besar jika dibandingkan dengan angsuran PPh pasal 25 yang telah mereka bayar pada tahun-tahun sebelum diberlakukannya Peraturan Pemerintah ini. Jadi kapan kita memilih PPh Final 1% atau PPh Pasal 25 sebesar 25% acuannya adalah seberapa besar omset kita di tahun pajak sebelumnya.
Bagaimana Pelaporan Keuangan Pada Akhir Tahun
Dengan berlakunya PP 46 tahun 2013 ini, perusahaan masih bingung untuk pelaporan SPT tahunan diakhir tahun dan bagaimana penyajian laporan keuangan yang seharusnya. Banyak pertanyaan yang muncul berkaitan dengan masalah ini diantaranya adalah :
1. Apakah laporan keuangan dibuat 2 yaitu Periode Januari – Juni 2013 dan periode Juli – Desember 2013
2. Apakah laporan keuangan tetap dibuat satu saja periode Januari – Desember 2013
3. Atau laporan keuangan yang dibuat hanya periode januari – Juni 2013 saja.
Dari 3 pertanyaan diatas kita dapat menemukan jawabannya dengan mengacu kepada PP 94 Tahun 2010 BAB VII pasal 27 tentang “Pembukuan Terpisah dan Perubahan Tahun Buku” sebagai berikut :
(1) Wajib Pajak harus menyelenggarakan pembukuan secara terpisah dalam hal:
a. Memiliki usaha yang penghasilannya dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dan tidak final;
b. Menerima atau memperoleh penghasilan yang merupakan objek pajak dan bukan objek pajak; atau
c. Mendapatkan dan tidak mendapatkan fasilitas perpajakan sebagaimana diatur dalam Pasal 31A Undang-Undang Pajak Penghasilan.
(2) Biaya bersama bagi Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak dapat dipisahkan dalam rangka penghitungan besarnya Penghasilan Kena Pajak, pembebanannya dialokasikan secara proporsional.
Jadi dapat kita simpulkan bahwa untuk penyajian laporan keuangan yang dilampirkan pada SPT Tahunan adalah tetap 1 laporan keuangan tetapi pembukuannya yang dipisahkan antara Final dan yang Tidak Final. Adapun untuk perhitungan Penghasilan Kena Pajak dan PPh terutangnya adalah :
1. Laporan Laba Rugi periode Januari – Juni 2013 untuk perhitungan pajak terutangnya memakai tariff PPh pasal 17
2. Laporan Laba Rugi periode Juli – Desember 2013 untuk perhitungan pajak terutangnya sudah Final
Dari Penjelasan yang sudah saya paparkan di atas dan didasari dengan Undang-undang dan peraturan perpajakan yang masih berlaku, mudah-mudahan dapat membantu dan memecahkan masalah khususnya untuk pelaporan SPT Tahunan anda.