PSAK 24, Peran Akuntan Dalam Penerapan UU Ketenagakerjaan Di Indonesia
08 May 2019
Category: AUDIT
Penulis:
Cindy Westefina Tatiwakeng, S.E., M.Acc., Ak.
Beberapa hari yang lalu adalah Hari Buruh Internasional atau yang biasa dikenal sebagai May Day. Peringatan Hari Buruh ini diperingati oleh hampir seluruh negara di dunia, tak terkecuali Indonesia. Tanpa absen, setiap tahun pasca reformasi, ribuan pekerja turun ke jalan untuk melakukan aksi dan menggelar orasi. Uniknya, tahun ini lebih banyak pekerja profesional atau kantoran yang ikut turun ke jalan. Jakarta Post (01/05/2019) melaporkan ratusan pekerja kerah-putih melakukan long march dari Sarinah ke kantor Badan Ekonomi Kreatif di Jakarta Pusat. Mereka menyuarakan aspirasinya terkait pekerja dan perempuan. Apa yang dituntut para pekerja biasanya tak pernah jauh dari soal kesejahteraan. Di Indonesia sendiri, menurut berita yang dilansir CNN Indonesia (01/05/2019), upah minimum masih menjadi sorotan pada peringatan Hari Buruh 2019.
Sebenarnya Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) yang didesain untuk melindungi hak-hak pekerja. Baik itu jam kerja, upah minimum, upah lembur, denda dan potongan upah, pembayaran pesangon, dan hal-hal lain telah diatur dalam undang-undang tersebut. Namun persoalan pekerja seakan tidak pernah selesai. Hal ini bisa menjadi indikasi bahwa masih banyak perusahaan yang belum sepenuhnya menerapkan UU Ketenagakerjaan. Menurut Anggota Dewan Jaminan Sosial (DJSN), Subianto SH kepada Tribun dalam acara Kaleidoskop Penyelenggaraan Jaminan Sosial Tahun 2018 (20/12/2018), “90 persen perusahaan melanggar karena mereka tidak menetapkan struktur dan skala upah proporsional sesuai UU Ketenagakerjaan. Pengusaha hanya membayar upah minimum. Ini terjadi, karena kurangnya pengawasan dari pemerintah.”
Terkait dengan penerapan UU Keternagakerjaan di Indonesia, Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) sedikit banyak memiliki peranan untuk mengawal diterapkannya undang-undang tersebut oleh perusahaan. Salah satu pasal dalam UU Ketenagakerjaan mengatur tentang Imbalan Pasca Kerja, yakni imbalan yang harus diberikan perusahaan kepada karyawan ketika karyawan sudah berhenti bekerja dengan beberapa alasan. Untuk mengakomodasi UU Ketenagakerjaan Tahun 2003 tersebut, IAI melalui Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAI) telah menerbitkan PSAK 24 (Revisi 2004): Imbalan Pasca Kerja yang memiliki cakupan lebih luas, tidak hanya manfaat pensiun, melainkan juga mengatur semua imbalan kerja yang berlaku di perusahaan. Saat ini PSAK 24 yang berlaku adalah PSAK 24 (Revisi 2010) yang telah mengadopsi International Accounting Standard 19 (IAS 19) Revisi tahun 2009.
Mengapa perusahaan harus menerapkan PSAK 24?
·Adanya prinsip akuntansi accrual basis
Penerapan PSAK 24 pada perusahaan sesuai dengan prinsip accrual basis, yaitu perusahaan harus mencadangkan/mengakui utang/liabilitas untuk imbalan yang akan jatuh tempo nanti. Berkaitan dengan arus kas, jika ada karyawan yang keluar karena pension dan perusahaan memberikan manfaat pesangon pensiun kepadakaryawan tersebut, maka pada periode berjalan perusahaan harus mengeluarkan sejumlah uang yang tidak mengurangi laba perusahaan secara langsung, akan tetapi mengurangi pencadangan/akrual atas imbalan pasca kerja yang telah dicatatkan perusahaan di laporan keuangan.
·Tak ada kewajiban yang tersembunyi
Artinya, jika di dalam laporan keuangan tidak ada pos untuk imbalan pasca kerja, maka secara tidak langsung perusahaan sebenarnya “menyembunyikan” kewajibannya untuk imbalan pasca kerja. Lebih jauh dari sudut pandang audit laporan keuangan, hal ini dapat mempengaruhi opini audit jika nilai liabilitas yang tidak dilaporkan tersebut material. Perusahaan tidak akan dapat mendapat opini unqualified dari Akuntan Publik.
Karena PSAK 24 mengakomodasi UU Ketenagakerjaan dari sisi akuntansi, maka kedepannya penting bagi semua pihak untuk menekankan penerapan PSAK 24 di perusahaan. Hal ini perlu dipertimbangkan sebagai materi perundingan antara serikat pekerja dengan manajemen di masing-masing perusahaan. Sebab iklim usaha yang sehat tak lepas dari peran para pekerja. Seperti kutipan dari Sopochles, seorang penulis Yunani berikut: “Without labor nothing prospers”.