Articles

Read the articles about accounting,internal audit, tax, human resource,information and technology.

TECH BACKLASH, SEBAGAI REAKSI BALIK TEKNOLOGI

04 October 2019
Category: SECRETARY
Penulis:         Audy Pristikasari, S.Tr.T.
TECH BACKLASH, SEBAGAI REAKSI BALIK TEKNOLOGI

Beberapa waktu lalu, New York Times menerbitkan salah satu Opinion Edition (op-ed) pada website resminya yang membahas mengenai Tech Backlash. Ditulis oleh Rob Walker dengan judul “There is no Backlash”, ia menyatakan bahwa tidak ada tech backlash dengan menuliskan:

“Politicians have discussed regulating big tech companies more tightly. Fines have been issued, breakups called for. A tech press once dedicated almost exclusively to gadget lust and organizing conferences that trot out tech lords for the rest of us to worship has taken on a more critical tone; a drumbeat of exposés reveals ethically and legally dubious corporate behavior. Novels and movies paint a skeptical or even dystopian picture of where tech is taking us. We all know people who have theatrically quit this or that social media service, or announced digital sabbaticals. And, of course, everybody kvetches, all the time. However, there is the matter of our actual behavior in the real-world marketplace. The evidence there suggests that, in fact, we love our devices as much as ever. There is no tech backlash.”

Tak lama setelah artikel itu diterbitkan, Casey Newton, Silicon Valley Editor, menanggapi argumen dari Rob Walker melalui tulisannya di website TheVerge.com. Casey Newton berpendapat bahwa Tech Backlash adalah hal yang pasti terjadi. Ia menanggapi tulisan dari Walker pada op-ed New York Times:

“Now, it’s certainly still possible that the platforms will emerge from this regulatory moment relatively unscathed. It’s a concern I raised here myself this summer, when Facebook shrugged off an FTC fine. But to make that argument at this moment — when US antitrust forces have roused themselves to attention for the first time in a generation — strikes me as very strange. The tech backlash is here, it’s real, and it’s accelerating.”

Techlash atau Technology Backlash beberapa tahun ini mulai ramai diperbicangkan. Beberapa tahun lalu, perusahaan teknologi digambarkan dengan hal yang menyenangkan. Mereka disebut sebagai pioner dalam kebebasan dan kemajuan kehidupan manusia. Namun sekarang keadaan mulai berbalik arah, perusahaan teknologi dianggap bertanggung jawab atas mulai lunculnya “wabah” yang dihadapi dunia.

Techlash merupakan serangan balik terhadap teknologi yang mengarah ke bentuk perlawanan dari manusia berupa kekhawatiran, persepsi yang negatif terhadap teknologi, dan regulasi-regulasi “mengikat” yang diberlakukan oleh pemerintah dalam menyikapi perkembangan teknologi saat ini. Techlash mulai terjadi sejak kesaksian yang dilakukan oleh Mark Zuckerberg disebuah kongres pada bulan April 2018 karena banyaknya kritik yang diarahkan pada platform andalannya, Facebook. Kemunculan Pendiri dan CEO Facebook pada kongres tersebut dianggap sebagai momen kunci dalam munculnya istilah backlash teknologi, atau "techlash".

Facebook ditunjuk sebagai platform yang mempunyai dampak atas hasil pemilu USA tahun 2016 lalu. Awalnya, muncul kekhawatiran tentang mudahnya cerita dan berita palsu atau menyesatkan beredar melalui platform, sehingga menimbulkan istilah “hoax”. Kemudian, hal itu menjadi terbukti jelas setelah terusutnya kasus agen Rusia menggunakan alat iklan pada Facebook untuk menargetkan pemilih yang “rentan” di wilayah-wilayah utama dengan menyajikan cerita dan iklan palsu yang dirancang untuk memicu ketegangan rasial dan politik. Sampai akhirnya, kasus Cambridge Analytica pecah. Lebih dari 87 juta pengguna mendapatkan data mereka dengan alasan yang dibuat-buat oleh perusahaan konsultan politik untuk tujuan penargetan iklan yang akurat untuk sejumlah kampanye politik. Skandal terakhir inilah yang akhirnya menyebabkan munculnya Zuckerberg di hadapan Kongres. Hal ini juga menyebabkan pergerakan #DeleteFacebook dan penurunan nilai pasar perusahaan Facebook sebesar $75 miliar dalam waktu seminggu, meskipun harga saham mereka dengan cepat pulih dan sekarang mencapai hampir setinggi dari harga saham yang pernah tercatat oleh Facebook. Hingga pada akhirnya, buntut dari kasus ini ialah Faderal Trade Commision (FTC) menjatuhkan denda sebesar $5 miliar atau setara Rp 70 triliun pada bulan Juli lalu atas kelalaian Facebook dalam penyalahgunaan data pribadi tersebut.

Namun, Facebook bukanlah satu-satunya perusahaan teknologi yang menjadi sasaran kritik oleh publik. Pada bulan Oktober 2017 lalu, perwakilan dari Google, Facebook, dan Twitter pun muncul sebelum Kongres kemunculan Zuckeberg untuk menjawab pertanyaan mengenai campur tangan Rusia dalam kampanye di Amerika 2016. Pada Januari 2018 pula, pihak Apple dipanggil oleh dua investor besar untuk mengatasi sifat yang diduga membuat kecanduan, khususnya pada anak-anak, yang ditimbulkan oleh produknya, iPhone. Pada bulan Maret 2018 lalu, Uber dan Tesla juga menjadi sasaran kritikan publik atas kecelakaan fatal yang melibatkan kendaraan otonom mereka, dan YouTube sangat dikritik karena terdapat konten yang mengganggu muncul pada channel anak-anak. Twitter pun tak luput dari kritikan publik, selama berbulan bulan Twitter dikritik karena mengizinkan layanannya digunakan oleh komunitas supremasi kulit putih dan kelompok kebencian anti-semit dengan bebas.

Ini adalah garis besar dari reaksi balik teknologi. Tetapi apa yang dilawan? Apakah manusia akan bertentangan dengan pesatnya perkembangan teknologi yang identik dengan penggerak masyarakat modern? Apakah saat ini manusia sedang berada di tengah-tengah penataan ulang terhadap hubungan antara individu manusia dengan perangkat teknologi, proses, dan sistem yang semakin hari kian menata kehidupan manusia? Yang terlihat jelas saat ini ialah: serangkaian reaksi yang terbatas oleh manusia pada kasus-kasus kecerobohan tertentu atau perilaku yang tidak etis yang berasal dari perusahaan teknologi.

Apabila dapat ditarik kesimpulan, mungkin serangan balik teknologi yang mulai terjadi saat ini bukanlah penolakan terhadap mesin, tetapi lebih mengarah kepada bentuk dari keinginan manusia untuk melihat mesin di ”kalibrasi” secara lebih manusiawi. Hal ini juga menunjukkan, seberapa besar komitmen manusia terhadap teknologi, seberapa teliti dan kritis pemikiran manusia dalam lingkup publik akan terungkap dalam parameter yang ditentukan oleh logika yang bisa disebut teknologi.

Terlepas dari ada atau tidaknya techlash, mungkin kita sudah tergolong terlalu sering larut dalam teknologi dan tanpa sadar tertekan dalam perlombaan “tikus digital” sehingga kita lupa untuk turun dari arena tersebut sejenak. Kita lupa meluangkan waktu untuk menjadi “analog” kembali. Sebagian orang rela menghabiskan hampir seluruh hidupnya di depan komputer. Dokter menganjurkan: “cukup dalam semua hal, termasuk cukup.” Mungkin hal itu juga akan berlaku pada konsumsi kita pada digitalisasi saat ini.

   For Further Information, Please Contact Us!